kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,94   9,36   1.05%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang Instrumen Investasi yang Berikan Imbal Hasil Maksimal Saat Inflasi Tinggi


Minggu, 02 Oktober 2022 / 07:45 WIB
Menimbang Instrumen Investasi yang Berikan Imbal Hasil Maksimal Saat Inflasi Tinggi
ILUSTRASI. Menimbang Instrumen Investasi yang Berikan Imbal Hasil Maksimal Saat Inflasi Tinggi


Reporter: Ika Puspitasari, Dikky Setiawan | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selamat datang era inflasi tinggi. Kalimat satir ini, tampaknya, tidak berlebihan untuk menggambarkan kondisi ekonomi global saat ini. Tak terkecuali bagi Indonesia. Faktanya, laju inflasi di negeri ini diproyeksi bakal terus meninggi.

Bank Indonesia (BI) memprediksi laju inflasi tahun ini bisa mencapai 6,5% secara tahunan. Angka ini jauh lebih tinggi dari target inflasi pemerintah dan BI sebesar 3% plus minus 1%. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi salah satu pemicu lonjakan inflasi.

Jika ramalan BI itu terbukti, bukan mustahil, dampaknya akan merembet ke berbagai lini ekonomi masyarakat. Termasuk, dalam urusan membiakkan duit di instrumen investasi. Investor perlu mencari keranjang investasi yang cocok saat inflasi tinggi.

Praska Putrantyo, CEO Edvisor.id menyarankan, investor menanamkan modalnya pada sejumlah instrumen investasi agar tak tergerus inflasi. Menurutnya, jenis investasi pasar modal yang terbilang stabil saat inflasi tinggi adalah surat berharga negara (SBN) dan obligasi korporasi.

Baca Juga: Bukan Emas, Ini Investasi yang Paling Direkomendasikan Robert Kiyosaki

Alasannya, mengacu kurva imbal hasil, yield SBN dengan tenor pendek dapat mencapai 5%-7,3%. "Artinya, secara yield sudah berada di atas inflasi, meskipun dipangkas pajak," jelas Praska, Jumat (30/9).

Obligasi korporasi bahkan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi ketimbang SBN. Akan tetapi, kata Praska, obligasi korporasi juga memiliki risiko gagal bayar. Dia mencontohkan obligasi dengan rating AAA, rata-rata yield-nya 8%-9%.

Selain itu, investor juga bisa melirik reksadana pendapatan tetap. Tapi, dana kelolaan reksadana ini harus banyak ditempatkan pada obligasi korporasi lantaran lebih stabil. Praska mengkhawatirkan SBN cukup terpengaruh oleh tekanan pasar.

Cuma, pelaku pasar harus mencermati dan memilih obligasi korporasi yang punya rekam jejak oke. Misalnya, fundamental si penerbit obligasi cukup kuat. Ini untuk menghindari risiko gagal bayar di tengah kenaikan suku bunga.

Baca Juga: Bill Gates dan Korea Selatan Perluas Kemitraan Kesehatan Global

Eko Endarto, perencana keuangan dari Finansia Consulting menimpali, untuk jangka pendek di bawah tiga tahun, obligasi menjadi pilihan tepat bagi investor. Sebab, tenor atau jangka waktu jatuh tempo pembayaran kupon obligasi sudah pasti.

Harga emas

Selain itu, imbal hasil obligasi rata-rata dipatok dengan kupon fixed atau tetap. Contohnya Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI022 yang baru ditawarkan Kementerian Keuangan pada Senin lalu (26/9).

Imbal hasil obligasi ORI022 dipatok 5,95% dengan masa jatuh tempo selama 3 tahun. Hanya saja, menurut Eko, imbal hasil di obligasi besarannya tidak jauh dari angka inflasi.

Namun, keuntungan berinvestasi di obligasi adalah imbal hasilnya bisa mengikuti tingkat suku bunga. "Ketika suku bunga naik, maka yield obligasi ikut naik. Jadi, keuntungan investor bisa lebih besar," katanya.

Selain obligasi, Eko menilai, emas juga menjadi pilihan instrumen investasi saat inflasi tinggi. Namun, dia menyarankan, investor berinvestasi di emas untuk jangka panjang.

Alasannya, harga emas sangat fluktuatif. Investor tidak bisa mengetahui secara pasti harga pembelian maupun penjualan emas ke depan. Jadi, kata Eko, tidak ada waktu yang tepat dalam berinvestasi emas.

"Yang penting, investasi emas untuk jangka panjang, minimal 3-5 tahun. Dengan periode tersebut, saya yakin investor bisa mendapatkan imbal hasil maksimal," imbuh dia.

Eko menyebutkan, imbal hasil emas bisa berkisar 10%-12%. Tapi, meski tidak ada waktu yang pas, investor jangan asal beli. Untuk mendapatkan imbal hasil optimal, investor harus melihat data historis harga emas. "Data historikal emas bisa jadi patokan investor untuk mendapatkan imbal hasil emas," katanya.

Baca Juga: Kehancuran Terbesar bakal Datang, Robert Kiyosaki Minta Masuk Sekarang ke 2 Aset Ini

Pendapat Eko tidak salah. Misal investor membeli emas Antam di akhir 2019 saat harga berada di level Rp 771.000 dan menjual kemarin saat harga buyback Rp 814.000 per gram, investor hanya mendapat cuan 5,58%.

Padahal inflasi sejak awal 2020 hingga Agustus lalu mencapai 7,34%. Jadi keuntungan emas dalam jangka pendek di bawah lima tahun belum mampu mengalahkan inflasi.

Lain lagi bila investor membeli emas di akhir 2016 saat harganya masih Rp 608.000 dan menjualnya kemarin. Investor akan untung 33,88%. Sementara inflasi sejak awal 2017 sampai Agustus lalu 13,46%.

Praska menambahkan, di tengah inflasi melambung, instrumen saham menjadi tidak menarik. Apalagi untuk investasi jangka pendek. "Saham masih menarik, tapi untuk jangka panjang," katanya.

Baca Juga: Miliarder Dunia Ini Memperingatkan Situasi yang Terburuk Belum Datang

Mohamad Andoko, perencana keuangan Oneshildt Financial Planning pernah mengatakan, berinvestasi di pasar modal punya risiko tinggi. Terutama, ketika pasar modal terguncang akibat krisis ekonomi.

Yang paling aman dan risikonya kecil adalah deposito atau obligasi. Saat ini, suku bunga deposito masih berada di kisaran 1,9%-2,5% untuk bank konvensional dan 4%-6% untuk bank digital.Sementara itu yield obligasi berkisar 6,5%-7% per tahun.

Jadi, Andoko menyarankan investor melakukan asset allocation dan menyebar investasi di beberapa instrumen, agar hasil optimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×