Reporter: Dimas Andi | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pilihan dalam berinvestasi pada instrumen berbasis obligasi kian beragam. Hal ini setelah beberapa perusahaan mulai menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan atau green bond dalam beberapa waktu terakhir.
Yang terbaru, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) menerbitkan green bond berdenominasi rupiah senilai Rp 500 miliar dalam 2 seri dengan tenor 3 dan 5 tahun pada Selasa (9/7). PT SMI lantas menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang mencatatkan instrumen tersebut dengan denominasi rupiah di Bursa Efek Indonesia.
Mundur ke belakang, berdasarkan catatan KONTAN, sudah ada beberapa perusahaan swasta Indonesia yang menerbitkan green bond secara global. Contohnya, Star Energy Geothermal (Wayang Windu) Limited yang merilis green bond senilai US$ 650 juta di AS pada pertengahan April lalu.
Contoh lainnya adalah lembaga keuangan Tropical Landscape Finance Facility (TLFF) yang pernah merilis green bond senilai US$ 95 juta pada akhir Februari lalu. Hasil green bond tersebut digunakan untuk mendanai PT Royal Lestari Utama, perusahaan patungan Michelin Prancis dan Grup Barito Pacific.
Analis Obligasi BNI Sekuritas, Ariawan menilai, kehadiran green bond pada dasarnya akan menambah variasi instrumen investasi yang bisa dimiliki oleh investor, terlepas dari kondisi pasar obligasi yang belum benar-benar pulih. Terlebih lagi, green bond memiliki daya tarik tersendiri berupa underlying yang berbentuk proyek berwawasan lingkungan.
Ia juga menganggap likuiditas tidak menjadi masalah besar bagi green bond. Saat ini jumlah penerbit green bond memang masih sedikit di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan yang menerbitkan green bond diyakini akan makin banyak. Hasilnya, nilai outstanding green bond sendiri akan meningkat. “Cepat atau lambat likuiditasnya akan sama seperti obligasi korporasi pada umumnya,” katanya, hari ini.
Sementara itu, Analis Fixed Income MNC Sekuritas, I Made Adi Saputra berpendapat, risiko yang dimiliki oleh green bond relatif sama dengan obligasi konvensional yang selama ini beredar. Artinya, investor berpeluang meraup keuntungan tapi juga berpotensi menerima kerugian tergantung kondisi pasar obligasi tempat instrumen tersebut diperdagangkan. “Faktor pembeda green bond sebenarnya hanya tujuan penggunaan dana saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, untuk saat ini sukses atau tidaknya penerbitan green bond di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh tingkat imbal hasil dan peringkat yang dimiliki oleh instrumen tersebut. Ini mengingat tipikal investor di Indonesia memang masih berorientasi pada perolehan imbal hasil.
Ditambah lagi, belum ada perusahaan di Indonesia yang benar-benar memiliki kebutuhan khusus untuk mengalokasikan portofolionya pada instrumen investasi berwawasan lingkungan seperti green bond.
Kondisi berbeda terjadi di luar negeri, utamanya di negara maju. Beberapa fund manager hingga lembaga keuangan yang ada di luar negeri sudah memiliki kewajiban untuk mengisi portofolio investasinya dengan green bond. Dengan begitu, instrumen tersebut memang sudah memiliki pasarnya tersendiri.
“Di luar negeri, posisi green bond mirip dengan instrumen berbasis syariah. Ada perusahaan yang mau tak mau mesti memiliki instrumen tersebut,” ungkap Made.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News