Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Ketiga, faktor image perusahaan atau persepsi yang sahamnya relatif dipandang negatif oleh pasar. Pada umumnya, pasar akan menjauh karena merasa trauma atau perusahaan tersangkut masalah hukum. Bisa juga dipersepsikan sebagai "saham gorengan".
Soal "saham gorengan", Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani menimpali bahwa saham-saham gocap identik dengan persepsi tersebut. Sehingga tak heran jika pergerakan harganya seringkali tidak wajar, tapi akan kembali mentok ke level Rp 50, terutama setelah aksi profit taking.
Selanjutnya, jumlah saham yang diperdagangkan (volume traded) akan ikut menurun. "Sehingga tidak ada pembeli lagi atau pembelinya sepi. Di sisi lain investor yang ingin jual sahamnya tidak bisa, atau sulit untuk jual karena harganya turun ke Rp 50," terang Arjun.
Baca Juga: Bakrie & Brother (BNBR) Kian Optimistis Menatap 2024
Antisipasi Risiko Tinggi
Tindakan pelaku pasar mengoleksi saham-saham gocap, menurut Alfred, lebih sebagai aksi spekulasi dibanding investasi. Hal ini bisa menjadi daya tarik bagi trader atau para risk taker. Tapi mesti diingat bahwa fluktuasi yang tinggi bisa jadi menawarkan potensi return yang juga tinggi, tapi begitu pula dengan potensi loss-nya.
Prospek perusahaan dan sektor bisnisnya, serta profil manajemen akan menjadi pertimbangan penting terhadap saham-saham gocap. Hanya saja, patut dicatat bahwa sentimen penggerak harga saham gocap lebih sulit terprediksi dibandingkan saham lainnya.
Dus, Alfred menyarankan investor lebih baik melirik saham lain yang ada di bursa. "Tidak ada kata menarik (untuk saham gocap), karena prioritas dari sisi risiko ketimbang return-nya. Apalagi di bursa kita masih banyak saham yang jauh lebih menarik," tegas Alfred.
Baca Juga: Dana Hasil Kejahatan Korupsi Rp 3,5 Triliun Mengalir ke Pemilu 2024
Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto menimpali, aksi korporasi biasanya menjadi katalis yang paling efektif membangunkan saham-saham gocap. Sehingga, rencana aksi korporasi emiten bisa menjadi sinyal atau momentum untuk trading.
Hanya saja, perlu waspada karena bisa jadi sentimen itu hanya sesaat saja mendorong saham gocap. Sebab, seringkali saham-saham terlelap di level gocap karena memang tidak diminati oleh pasar. "Bukan karena sentimen, kadang-kadang memang jatuh hanya karena minim peminat saja," imbuh William.
Sebagai pertimbangan trading, William melirik saham FREN, dengan tetap memperhatikan volume perdagangan hariannya. Sementara Sukarno menyarankan wait and see. Jika ada peluang bangkit dan berpotensi uptrend, saham RAFI bisa dicermati.
Praska melihat beberapa saham gocap bisa dipertimbangkan untuk speculative buy. Tapi untuk jangka waktu yang singkat saja, karena mengandung risiko yang relatif tinggi, dan jika saham kembali ke Rp 50 akan sulit menjual kembali. Saham yang bisa dicermati adalah FREN, MARI dan JAST.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News