Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) menyediakan dua indeks syariah yang bisa menjadi acuan dalam berinvestasi, yakni Indonesia Sharia Stock Index (ISSI) dan Jakarta Islamic Index (JII). Kedua indeks tersebut, membantu investor untuk menetapkan prinsip syariah dalam berinvestasi. Sebagai informasi, ISSI sendiri dihuni oleh 368 emiten, dan JII dihuni oleh 30 emiten. Nah, sejauh ini, bagaimana prospek saham yang masuk dalam indeks ini?
Tekanan pasar yang cukup hebat belakangan ini, memang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan. Termasuk di antaranya saham-saham yang masuk dalam kedua indeks tersebut. Sejak awal tahun hingga saat ini, saham JII tergerus 10,00% sedangkan saham ISSI tergerus 6,46%. Sementara IHSG sejak awal tahun, sudah susut 6,28%. Karena menganut sistem syariah, indeks ini tidak memasukkan emiten perbankan. Sektor perbankan ini sejak awal tahun, sudah susut 6,06%.
BEI mencatat, saat ini ada 366 saham syariah, dari total 573 saham yang tercatat. Sedangkan pada tahun 2017, saham syariah ada 365 emiten, pada 2016 ada 331 emiten, pada 2015 ada 318 emiten, pada 2014 ada 316 emiten, pada 2013 ada 312 emiten, pada 2012 ada 300 emiten, dan pada 2011 ada 237 emiten. Dengan capaian itu, jumlah saham syariah meningkat dengan rata-rata rasio 62% dari total saham tercatat di BEI.
Pasar modal syariah Indonesia sendiri dinilai cukup bersaing. Pada saat ISSI diluncurkan pada 2011, hingga April 2018 indeks ini sudah tumbuh 44%, dan indeks JII tumbuh 29%. Sedangkan indeks MSCI World Islamic (MIWO) pada kurun waktu periode yang sama tumbuh 25%, indeks FBM Emas Malaysia (FMBS) tumbuh 28%, FBM Hijra Malaysia (FBMHMS) tumbuh 36%, dan indeks Dow Jones Islamic Market (DJIM) tumbuh 75%.
Ada beberapa prinsip syariah, agar suatu emiten bisa tergolong dalam indeks syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyeleksi saham syariah dengan beberapa ketentuan. Secara garis besar, terbagi menjadi dua yakni emiten tidak melakukan kegiatan usaha yang melanggar prinsip syariah. Kedua, emiten memenuhi rasio-rasio keuangan seperti total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45%, atau total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10%. Selain itu, transaksi juga tidak melanggar fatwa DSN-MUI Nomor 80, yang mengatur mengenai skema transaksi.
Teuku Hendry Andrean, Research Manager Shinhan Sekuritas Indonesia menyatakan bobot indeks syariah dengan IHSG boleh dibilang berbeda jauh. Hal itu karena indeks syariah mengeliminasi saham-saham perbankan, dan rokok yang memiliki kapitalisasi pasar besar. Sementara sektor yang masuk dalam saham syariah dengan bobot besar, seperti UNVR dan TLKM.
“Jadi kalau consumers good atau telekomunikasi ini melambat, mereka turut melambat. Jadi ada beberapa market cap besar yang gak masuk ke saham syariah,” kata Teuku kepada Kontan.co.id, Selasa (8/5).
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri menyatakan Indonesia sempat kehilangan momentum untuk memposisikan diri sebagai negara dengan investasi saham syariah. Posisi ini justru dipegang oleh Malaysia, sedangkan Singapura menempatkan diri sebagai hub investasi di kawasan Asia Tenggara. “Indonesia kehilangan momentum saat krisis tahun 1997-1998. Padahal Indonesia mayoritas muslim. Jadi biarpun hilang harus ada perbaikan,” kata Hans di Jakarta, Jumat (11/5).
Dia menyatakan, indeks ISSI mirip dengan IHSG, sedangkan JII mirip dengan LQ45 yang lebih sedikit dan likuid. Nah, karena perbedaannya ada pada sektor perbankan, Hans menilai bila kinerja perbankan kurang memuaskan maka akan tercemin pada IHSG sementara indeks syariah bisa lebih baik. Begitu sebaliknya, bila saham perbankan bagus, maka kinerja IHSG bisa lebih baik dari kinerja indeks syariah.
“Biasanya indeks syariah itu sudah memasukan fundamental, misalnya Debt to Equity Ratio (DER) dibatasi. Secara umum harusnya lebih bagus dari konvensional. Tapi kalau bank kuat, dia bisa ketinggalan,” lanjut Hans.
Oleh karena itu, biasanya saham syariah didukung oleh klasifikasi yang lebih aman. Di antaranya terhadap fluktuasi, risiko bisnis dan utang yang dibatasi. Sehingga dalam jangka panjang, ini terbilang cukup baik apalagi di tengah situasi market belakangan ini. Terhadap saham-saham perbankan, Hans melihat pertumbuhan tahun ini tidak akan seagresif pada tahun sebelumnya yang naik signifikan. Bahkan ada kecenderungan profit taking. Namun, disaat tren market yang sedang menurun tersebut, merupakan saat yang tepat untuk memburu saham bluechips.
Di antara saham-saham syariah, Hans melihat emiten sektor infrastruktur cukup menarik untuk dicermati. Di antaranya seperti JSMR, PGAS, TLKM, WIKA, WSKT, PTPP, dan WTON bisa menjadi pilihan. Dia menilai, pemerintah akan banyak mengebut proyek-proyek infrastruktur. Pada semester II-2018, dia memprediksi akan banyak proyek yang diresmikan. “Dan kalau pemerintah ini lanjut, maka konstruksi akan bergerak naik. Setiap tahun, indeks menjelang pilpres itu turun, setelah pilpres naik,” imbuhnya.
Hans memperkirakan, tahun ini kemungkinan indeks bisa tumbuh 10%, termasuk saham indeks syariah. Namun, dia juga melihat adanya kemungkinan pertumbuhan indeks negatif karena besarnya sentimen global dan adanya sentimen pemilihan presdien di dalam negeri. Meski begitu, dia masih cukup optimistis terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Mohamad Yunus, Executive Director Head Of Operations Henan Putihrai Sekuritas menilai saham syariah saat ini memiliki pertumbuhan yang cukup baik. Kinerja indeks syariah, terutama JII juga tercermin dengan saham yang masuk dalam daftar LQ45 sebagai saham yang likuid. Oleh karena itu, saham-saham tersebut bisa menjadi alternatif pilihan bagi nasabah dengan rekening syariah. “Nasabah syariah kami saat ini kurang lebih 30%, ada peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu,” kata Yunus di BEI, Jakarta, Jumat (11/5).
Saat ini, sebaran investor syariah yang ditangani oleh perusahaan banyak berasal dari DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Untuk wilayah Jawa Tengah, dia melihat ada peningkatan yang cukup baik lantaran gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan. Di antaranya dengan menggandeng BEI, Baznas, masyarakat ekonomi syariah, MUI, dan lembaga lain. Sehingga bisa menjaring investor baru. “Memang tantangan kami masih banyak masyarakat yang belum terlalu paham sekali investasi syariah,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News