Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rencana penerapan kebijakan tarif resiprokal pemerintah Amerika Serikat (AS) ke sejumlah negara menggemparkan seluruh industri global, termasuk industri kelapa sawit alias crude palm oil (CPO).
Dalam kebijakan tarif resiprokal pemerintah AS, Indonesia terkena besaran 32%. Namun, saat ini penerapannya ditunda sampai 90 hari ke depan. Di masa penundaan, pemerintah AS akan menerapkan tarif impor minimal 10% kepada 75 negara, termasuk Indonesia.
Merespons tarif Trump ini, muncul wacana dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penyesuaian dan pemangkasan bea keluar bagi komoditas ekspor CPO. Berdasarkan catatan KONTAN, kebijakan tersebut dapat mengurangi beban pelaku usaha sampai 5%.
Total nilai ekspor komoditas sawit dan turunannya Indonesia ke AS mencapai US$ 1,29 miliar dengan volume sebesar 1,39 ton di tahun 2024. Meskipun begitu, AS bukan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Tahun lalu, ekspor CPO terbesar dilakukan ke India, kemudian diikuti Pakistan dan China. Sedangkan Negara Paman Sam itu ada di urutan keempat.
Dengan situasi tersebut, diperkirakan tarif Trump kemungkinan tidak akan terlalu memberatkan kinerja industri sawit. Emiten CPO, seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), pun sepakat dengan hal itu.
Baca Juga: Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Respons Positif Wacana Pemangkasan Bea Keluar CPO
Presiden Direktur AALI, Santosa mengatakan, dampak secara langsung dari Tarif Trump ke kinerja perseroan tidak ada. Sebab, AALI tidak pernah menjual produk CPO ke AS secara langsung.
“Secara langsung, ekspor CPO ke AS juga relatif tidak terlalu besar,” katanya kepada Kontan, Jumat (11/4).
Secara umum, ekspor AALI berkisar 40% dari total volume penjualan di tahun 2024. Negara tujuan utama eskpor AALI adalah China dan negara-negara di Asia.
“Namun, kebijakan penjualan AALI adalah oportunistik secara harian. Kami pilih mana yang memberikan harga terbaik, baik domestik maupun ekspor, tergantung situasi dari waktu ke waktu,” ungkapnya.
Meskipun begitu, ia tak menampik kebijakan tarif Trump bakal menimbulkan dampak secara tak langsung ke industri sawit. Kebijakan tersebut bisa mengganggu stabilitas ekonomi global dan skenario terburuknya menimbulkan kontraksi ekonomi yang bisa berpengaruh pada keseimbangan supply demand minyak nabati. Pada akhirnya bakal berdampak pada harga komoditas minyak nabati global, khususnya di pasar China.
Disisi lain, Head of Investor Relation SGRO Stefanus Darmagiri mengatakan, adanya dampak dari tarif Trump ke industri CPO tidak berdampak langsung terhadap operasional dan kinerja SGRO. Sebab, seluruh penjualan minyak kelapa sawit perseroan difokuskan ke pasar domestik.
“Meskipun adanya Tarif Trump akan berdampak terhadap ekspor CPO Indonesia ke AS, dengan dimulainya program B40 pada awal 2025, diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit, khususnya untuk pasar domestik,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (11/4).
Menurut Stefanus, fluktuasi harga jual CPO sangat bergantung kepada mekanisme pasar alias supply dan demand. Oleh sebab itu, SGRO tetap fokus pada program meningkatkan produktivitas kelapa sawit serta melakukan efisiensi kerja untuk dapat meningkatkan kinerja operasional dan keuangan.
Harga CPO diperkirakan akan tetap solid pada kuartal I 2025, ditopang oleh kenaikan permintaan terhadap minyak kelapa sawit pada bulan Ramadan serta adanya kenaikan mandat biodiesel menjadi B40.
Pada tahun 2025, SGRO mengharapkan adanya perbaikan produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun inti SGRO sebesar 5% year on year (YoY).
“Perseroan tidak melakukan ekspor produk minyak kelapa sawit di tahun 2025, karena seluruh penjualan minyak kelapa sawit perseroan difokuskan kepada pasar domestik,” ungkapnya.
Baca Juga: Harga CPO Bertahan di Atas MYR 4.000, Tekanan Global Masih Bayangi Pasar
Direktur PT Rumah Para Pedagang Kiswoyo Adi Joe mengatakan, memang CPO merupakan komoditas impor terbesar AS dari Indonesia. Namun, AS bukan negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia.
“AS punya perkebunan jagung dan kedelai yang cukup besar, sehingga CPO tidak menjadi pemakaian utama di sana,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (13/4).
Negara tujuan ekspor utama Indonesia adalah China dan India. Kedua negara itu juga merupakan konsumen CPO terbesar di dunia. Alhasil, dampak akibat tarif Trump ke industri sawit Indonesia kemungkinan tak berdampak terlalu besar.
“Selama ekonomi global stabil dan konsumsi masyarakat global, terutama China dan India, bagus, permintaan CPO akan terus tinggi,” katanya.
Saat ini, produsen CPO Tanah Air juga tak telalu banyak yang melakukan ekspor. Hanya beberapa perusahaan dengan kebun luas dan pabrik minyak goreng besar yang ekspor dalam jumlah besar, seperti perusahaan-perusahaan CPO milik Grup Wilmar dan Grup Sinarmas.
“Perusahaan CPO yang tak terlalu besar biasanya fokus ke pasar domestik jualannya. Misalnya, PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) itu jualannya ke lokal,” katanya.
Industri sawit memang punya banyak beban, seperti kewajiban domestic market obligation (DMO), pungutan ekspor, hingga bea keluar. Namun, hal itu tampaknya bukan beban yang bisa menghalangi kinerja industri sawit ke depan.
Sebab, penjualan sawit sendiri saat ini masih di level yang cukup baik, mengingat harganya yang masih tinggi di pasar global lantaran tingginya replanting di sejumlah kebun produsen utama, yaitu Indonesia dan Malaysia.
Menurut Kiswoyo, bea keluar merupakan sumber dana yang dikelola untuk membantu petani sawit plasma lokal untuk replanting.
“Dana yang dikelola saat ini sepertinya cukup besar, tidak masalah kalau sedikit berkurang setelah pemangkasan bea keluar,” katanya.
Senada, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, kebijakan proteksionisme AS itu kemungkinan tak terlalu mempengaruhi kinerja emiten CPO lantaran pangsa pasar domestik masih besar.
“Domestic market ini merupakan kontribusi yang terbesar bagi penyerapan produk CPO,” katanya kepada Kontan, Minggu (13/4).
Meskipun begitu, pemerintah Indonesia harus bisa menjalankan diplomasi ekonomi yang efektif memitigasi risiko terkait resiprokal tarif yang bakal diterapkan oleh Trump setelah 90 hari penundaannya berakhir.
“Perundingan perdagangan itu penting. Pemerintah juga harus mengimplementasikan program unggulan yang bisa menyerap konsumsi domestik CPO, seperti B40,” katanya.
Baca Juga: Austindo Nusantara Jaya (ANJT) Targetkan Kenaikan Produksi CPO 15% pada Tahun 2025
Rekomendasi Saham
Di sisi lain, pergerakan harga emiten CPO dinilai masih mencerminkan kinerja bisnis para emiten.
Melansir RTI, kinerja emiten CPO masih beragam. Misalnya, kinerja saham AALI turun 11,69% sejak awal tahun alias year to date (YTD) dan DSNG turun 27,37% YTD.
Di sisi lain, TAPG sahamnya naik 13,07% YTD, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) naik 9,74% YTD, dan SGRO naik 7,48% YTD.
“Kenaikan ini karena sudah mau musim pembagian dividen. Jadi, emiten yang rajin bagi dividen sahamnya akan terus naik,” kata Kiswoyo.
Kiswoyo pun merekomendasikan beli untuk AALI, LSIP, TAPG, dan DSNG dengan target harga masing-masing Rp 6.500 per saham, Rp 1.800 per saham, Rp 1.000 per saham, dan Rp 1.000 per saham. Keempat emiten itu dipilih karena punya pohon dengan usia produktif dalam jumlah yang cukup banyak, terutama TAPG dan DSNG.
Sementara, Nafan merekomendasikan buy on weakness untuk LSIP, terutama dengan entry level di Rp 1.050 – Rp 1.070 per saham. Target harga terdekat ada di Rp 1.130 per saham.
Selanjutnya: Langkah OJK Perkuat Pengawasan & Perlindungan Konsumen Sektor PPDP per Februari 2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok 14-15 April, Siaga Hujan Sangat Lebat di Daerah Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News