kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memburu cuan sekaligus membantu UKM lewat equity crowdfunding


Jumat, 25 September 2020 / 19:59 WIB
Memburu cuan sekaligus membantu UKM lewat equity crowdfunding
ILUSTRASI. Pilihan instrumen investasi semakin variatif dan terus berkembang, salah satunya adalah equity crowdfunding.


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pilihan instrumen investasi semakin variatif dan terus berkembang, salah satunya adalah equity crowdfunding (ECF). Teranyar, PT Ritel Bersama Satu baru saja mendaftarkan ECF ke Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Perlu diketahui, ECF merupakan metode pengumpulan dana dengan metode patungan yang dilakukan oleh pemilik bisnis atau usaha untuk memulai bisnisnya. Nantinya investor bisa membeli dan mendapatkan kepemilikan saham dari usaha tersebut dengan persentase yang disesuaikan.

Investor akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk dividen dari keuntungan usaha tersebut yang dibagikan secara periodik. Periodenya beragam, bisa tiga bulan, enam bulan, maupun setahun. Sedangkan untuk return yang ditawarkan berkisar 10%-40% per tahun.

Sebagai contoh, PT Ritel Bersama Satu mendaftarkan ECF dengan PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare) yang bertindak sebagai penyelenggara dengan jumlah 191 unit di mana setiap unit sahamnya dihargai Rp 5 juta. 

Baca Juga: Mulai berkembang tahun 2016, begini kondisi fintech Indonesia hingga kuartal II-2020

Merujuk laman Bizhare, ECF PT Ritel Bersama Satu telah mengumpulkan dana sebanyak Rp 955 juta dari 86 investor. Adapun usaha yang akan didirikan berupa gerai ritel. Disebutkan bahwa rata-rata yield dividen yang ditawarkan mencapai 24%-26% per tahun dan akan dibagikan setiap tiga bulan sekali.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai investasi ECF merupakan skema yang menarik. Pasalnya, di satu sisi pelaku usaha dapat lebih mudah dalam mengumpulkan modal usaha di luar pendanaan dari perbankan. Di satu sisi, investor akan mendapatkan tawaran return yang menarik.

“Tidak bisa dipungkiri imbal hasil yang ditawarkan ECF cukup menarik, bisa di atas 20% bahkan 30%. Tapi tentu risikonya juga besar sesuai prinsip investasi high return high risk,” ujar Wawan kepada Kontan.co.id, Jumat (25/9).

Baca Juga: Lebih mudah, alasan milenial gemar tempatkan uang di fintech peer to peer lending

Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto pun tak menampik return yang ditawarkan ECF menggiurkan, tapi investor dituntut punya kejelian dan kehati-hatian yang sangat tinggi. Pasalnya, ECF yang baru berkembang tiga tahun ke belakang ini masih cukup rentan dan punya fasilitas yang terbatas.

“Jadi investor harus aktif, mulai dari rajin riset, serta cermat dalam memilih lini usahanya karena risikonya kan sangat besar. Pertama, sebagai usaha yang baru didirikan, kinerja historical-nya tidak ada, belum lagi tidak adanya lembaga pemberi rating. Jadi pertaruhannya sangat besar, jangan sampai investor tergiur imbal hasil besar semata,” kata Ramdhan.

Bagi investor yang tertarik, sebenarnya tidak perlu merasa terlalu takut. Sebab ECF sudah bersifat resmi dan memiliki payung hukum dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun layanan ini diatur dalam Peraturan OJK yakni POJK 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi.

Baca Juga: OJK tunjuk AFSI sebagai asosiasi group inovasi keuangan digital syariah

Merujuk laman OJK, per 31 Desember 2019 setidaknya sudah terdapat tiga layanan ECF yang sudah resmi mengantongi izin OJK. Ada Bizhare dan Santara yang sama-sama mempunyai layanan bagi UKM untuk menawarkan sahamnya melalui platform dan menghimpun dana. Sementara CrowdDana lebih menyasar ke pengumpulan dana untuk aset properti.

Ramdhan menggarisbawahi OJK sebagai pengawas punya peran penting dalam memastikan ekosistem ECF bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Ia berkaca dari masa awal perkembangan model investasi peer to peer lending yang dinilainya pengawasannya kurang ketat.

“Pada saat itu, nama peer to peer lending tercoret dan sempat dihindari masyarakat seiring maraknya investasi bodong yang merebak luas. Oleh karena itu, OJK harus bisa memberi pengawasan lebih agar hal serupa tidak terjadi pada bisnis ECF yang punya konsep menarik dan potensi menjanjikan,” pungkas Ramdhan.

Baca Juga: Ada pandemi, fintech project financing kebanjiran permintaan pendanaan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×