Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor asing melakukan rebalancing portofolio saham. Hal itu nampak dari perubahan komposisi sejak akhir tahun 2016, akhir tahun 2017 dan hingga 1 Mei 2018. Terjadi beberapa perubahan jumlah kepemilikan. Salah satu indeks yang menjadi acuan yakni iShare MSCI Indonesia ETF (EIDO). Indeks ini diperkenalkan oleh manager investasi asal Amerika Serikat, Blackrock.
EIDO merupakan indeks acuan untuk produk exchange traded fund (ETF). Indeks ini menjadi acuan investasi Blackrock. Perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa investasi ini mengelola dana jumbo pada beberapa negara, salah satunya Indonesia. Indeks acuan ini cenderung menyasar emiten-emiten blue chips dengan kinerja fundamental yang mendukung.
Sebagai pengingat, dana asing pada pasar saham yang keluar pada tahun lalu hampir mencapai Rp 40 triliun. Sedangkan pada saat ini sejak awal tahun saja, dana asing sudah keluar dari bursa saham domestik sebesar Rp 34,21 triliun. Padahal, masih ada periode delapan bulan ke depan, sebelum akhirnya tutup buku tahun 2018.
Hal itu merefleksikan terjadi arus keluar yang dilakukan oleh investor asing dalam beberapa tahun terakhir. Otomatis, secara langsung juga terlihat pada perubahan bobot saham blue chips.
Hal itu wajar, sebab apabila dilihat secara historis, IHSG terus menanjak sejak 2008. Sejak krisis sepuluh tahun lalu itu, indeks sempat turun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, indeks sudah mulai mendaki. Hal itu juga membuat price to earning ratio (PER) IHSG turut naik. “Maka wajar kalau asing mulai melakukan rebalancing portofolio,” kata Jason Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas di Jakarta, pekan ini.
Bobot saham TLKM pada indeks EIDO per 30 Desember 2016, sempat menduduki posisi puncak dengan 12,44%. Berangsur-angsur asing mengurangi kepemilikan pada TLKM. Hingga pada 29 Desember 2017, bobot TLKM menjadi 11,56% dan per 1 Mei 2018, bobot TLKM turun menjadi 10,77%. Kini, bobot TLKM bukan lagi posisi puncak, melainkan posisi kedua setelah bobot saham BBCA.
Nah, BBCA sampai dengan 1 Mei 2018 memiliki bobot 11,13%. Sedangkan sampai 29 Desember 2017, bobot saham BBCA di EIDO sebesar 11,13%. Hingga 30 Desember 2016, BBCA memiliki bobot 11,85%. Artinya, asing masih meningkatkan kepemilikan BBCA. Hal yang sama rupanya juga terjadi pada saham perbankan lain. Ambil contoh BBRI, di mana sepanjang 2017, tercatat asing meningkatkan kepemilikan dari sebelumnya 8,04% menjadi 10,39%.
Kepemilikan asing pada saham UNTR juga meningkat sejak 30 Desember 2016 hingga 1 Mei 2018. Asing masih percaya diri dengan anak usaha ASII itu. Namun, kepercayaan investor asing susut pada saham LPPF. Per 30 Desember 2016, asing masih menggenggam LPPF sebesar 2,32%. Namun, pada akhir 2017, asing hanya mengempit 1,31% dan sampai 27 April 2018, bobotnya hanya 1,47%. Penurunan ini sekaligus membuat saham LPPF keluar dari 10 saham dengan bobot tertinggi.
Jason berpendapat, aksi jual yang dilakukan asing lantaran investor melakukan profit taking. Hal itu karena melihat PER IHSG yang sudah dinilai kemahalan, sehingga membuat momentum saat ini, adalah waktu yang tepat untuk mengurangi porsi. Menurutnya, asing sudah melakukan pengurangan sejak 2016. “Asing sudah lama pegang saham, mereka hanya merealisasikan profit dari investasi yang sudah dimasuki,” paparnya.
Saham yang sudah naik tinggi, potensi return kenaikannya semakin kecil. Maka perlu ada rebalancing saham agar saham tersebut tidak over valuation. Aksi jual yang dilakukan juga untuk mengindari bubble yang bisa meledak. “Dalam 20 tahun terakhir, ETF Indonesia sudah outstanding performance,” kata Jason.
Oleh karena itu, dalam analisa Jason, faktor keluarnya dana asing dari indeks bukan hanya karena kebijakan Donald Trump. Bukan juga hanya karena penguatan dollar terhadap rupiah menjelang rapat The Federal Reserve (The Fed) saja. Namun, juga karena adanya upaya normalisasi bobot ETF pada emiten-emiten berkapitalisasi pasar besar.
Jason menambahkan, EIDO menjadi salah satu indeks yang menjadi acuan. Blackrock juga mengelola iShares MSCI Emerging Markets ETF.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas menyatakan, pihaknya masih percaya dengan pertumbuhan ekonomi yang bisa berada di atas 5,2%. Selain itu, pertumbuhan kinerja emiten yang bisa mencapai 20% juga masih dinilai menarik untuk dilirik.
“Kalau ada rebalancing, investor asing lain masih banyak yang minat. Kami masih optimistis pertumbuhan bisa 5,2% ke atas karena GDP ekonomi kita masih cukup kuat,” kata Alfred di BEI, Senin (30/4).
Menurutnya, ada pengaruh juga saat ini dari rebalancing manajer investasi yang memperbesar fixed income dan mengecilkan porsi saham. Hanya saja, menurutnya, perlu dicermati pula rating investasi Indonesia yang semakin bagus. “Kecuali mereka memiliki pertimbangan lain. Bisa saja dari pasar finansial aset berubah menjadi real aset di Amerika,” imbuhnya.
Sementara Jason menyebut, mencermati agenda investor asing harus dilakukan agar tak terjebak pada harga tinggi. Dia masih berkaca, bahwa rebalancing masih dapat berlanjut pada waktu mendatang. Untuk itu, dia cenderung menghindari saham-saham dengan bobot kepemilikan yang tinggi oleh indeks acuan asing.
“Cari yang bobot mereka sudah sedikit, misalnya seperti sektor konsumer UNVR,” imbuh Jason.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News