Reporter: Nova Betriani Sinambela | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak akhir semester I 2024, valuasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan. Bahkan pada 25 September 2024, mata uang Garuda sempat menyentuh rekor terendahnya sejak awal tahun pada Rp 15.102. Analis melihat penguatan indeks dollar menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah.
Dilansir dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (10/10) rupiah berada di level Rp 15.658 per dolar Amerika Serikat (AS) atau melemah 0,33% dari sehari sebelumnya.
Begitupun di pasar spot rupiah ditutup di level Rp 15.678 per dolar Amerika Serikat (AS), melemah 0,31% dari sehari sebelumnya.
Ekonom Bank BCA, David Sumual mengatakan penggerak utama pergerakan rupiah adalah faktor eksternal, termasuk juga ekspektasi bahwa The Fed akan terus melonggarkan kebijakan moneternya.
"Jika skenario soft landing terjadi dan penurunan suku bunga dilakukan secara bertahap, mata uang pasar berkembang (EM) termasuk rupiah diperkirakan akan stabil dan menguat," kata David kepada KONTAN, Kamis (10/10).
Baca Juga: Rupiah Melemah Jelang Rilis Data Inflasi AS, Simak Proyeksinya untuk Jumat (11/10)
Tapi kenyataannya, data ekonomi AS yang dirilis minggu lalu menunjukkan ekonomi AS masih cukup kuat. Data non-farm payroll yang melebihi ekspektasi mengindikasikan pasar tenaga kerja yang solid, sehingga mata uang EM, termasuk rupiah, berbalik melemah.
Analis Senior Bank Mandiri, Reny Eka Putrif menambahkan, ketegangan geopolitik akhir-akhir ini juga meningkat. Pasar pun mulai beralih ke aset safe haven seperti dolar AS, oleh sebab itu aliran dana ke AS masuk semakin tinggi.
Di periode yang sama, tingkat pengangguran AS juga kembali menurun menjadi 4,1%.
Selain itu pasar juga memperkirakan The Fed akan mengambil sikap kebijakan suku bunga yang lebih konservatif ke depannya. Ini karena sikap Jerome Powell, dalam pidatonya yang memberi sinyal pemotongan suku bunga berikutnya kemungkinan akan lebih kecil dari September 2024 lalu.
Ditambah lagi jika AS dapat menjaga inflasi 2% atau bahkan lebih rendah, maka The Fed kemungkinan akan menurunkan suku bunga dua kali lagi hanya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan harga. Dengan demikian faktor ini dapat mendorong dana masuk ke AS.
"Para pembuat kebijakan mungkin akan melihat penurunan suku bunga dua kali lagi untuk mendukung perekonomian sambil menjaga stabilitas harga tahun ini," kata Reni kepada KONTAN, Kamis (10/10).
Selaras, Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana juga mengatakan bahwa depresiasi rupiah lebih karena faktor eksternal dibanding domestik.
Apalagi beberapa bank sentral seperti Bank of England (BOE), European Central Bank (ECB), dan People's Bank of China (PBOC) diperkirakan menurunkan suku bunga lebih besar daripada The Fed. Hal ini berpotensi mendorongan dana kembali ke AS.
Sementara faktor dalam negeri, pelaku pasar mengambil sikap wait and see menjelang rilis kabinet baru. Kendati demikian hal tersebut bukan faktor utama rupiah tertekan.
Begitupun secara fundamental rupiah, meskipun deflasi terjadi selama 5 bulan berturut-turut. Namun menurut Fikri kondisi tersebut justru berdampak ke membesarnya real yield SUN 10 tahun.
Dengan begitu mendorong kenaikan permintaan SUN atau aset class lainnya di Indonesia. Faktor ini justru mendorong capital inflow dan berpotensi membuat rupiah terapresiasi. Tetapi pada kenyataannya rupiah terus terdepresiasi, ini semakin menunjukan bahwa indeks dolar sangat kuat belakangan ini menjadi faktornya.
Baca Juga: Indeks Dolar Terlalu Kuat, Rupiah Kembali Melemah
Menurut Fikri batas psikologis rupiah ada di level resistance di Rp 16.000 dan support di Rp 15.200. Namun, secara umum, Fikri menilai Rupiah berada di kisaran Rp 15.400 hingga Rp 15.500 agar lebih mendukung portofolio, dan kondisi sektor ril Indonesia.
Fikri bilang jika risiko geopolitik global mereda, seperti yang terjadi pada beberapa waktu belakangan, ketika Rupiah sempat menguat hingga Rp 15.100-an tanpa adanya perbaikan fundamental yang signifikan maka ke depan rupiah masih sanggup tidak terpental ke atas 15.700-an.
Untuk akhir tahun, Fikri memperkirakan Rupiah akan berada di level sekitar Rp 15.490 per dolar AS yang artinya lebih kuat dibanding rupiah saat ini. Namun, dengan catatan adanya penurunan suku bunga The Fed dua kali lagi, tensi geopolitik menurun, dan tidak ada kejutan besar dari pemilu AS.
Sementara Reny bilang, untuk memitigasi volatilitas eksternal maka Bank Indonesia akan melanjutkan intervensi rangkap tiga dan optimalisasi lelang SRBI, SVBI, dan SUVBI untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan menyerap aliran modal.
Dengan asumsi kebijakan the Fed akan menurunkan Fed Funds Rate menjadi 4,5%, BI Rate menjadi 5,75%, dan potensi berlanjutnya aliran modal ke pasar domestik, Reny memperkirakan rupiah berada di kisaran Rp 15.400 - Rp 15.700 per USD dan yield obligasi acuan domestik berada pada kisaran 6,4 - 6,6% pada akhir tahun 2024.
Sementara David meyakini dengan data AS yang berpotensi membaik, maka rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 15.400- Rp 15.800 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News