Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga nikel diyakini masih akan berlanjut, khususnya untuk jangka panjang. Potensi tersebut turut ditopang oleh tren kenaikan harga komoditas acuannya yakni tembaga.
Mengutip Bloomberg, Jumat (13/11) harga nikel kontrak pengiriman tiga bulanan berada di level US$ 15.892 per ton. Ini membuat harga nikel naik 3,45% dalam sepekan.
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono pun melihat, harga nikel dapat berada di tren penguatan. Dia bahkan memprediksi di masa depan, nikel bisa menjadi the new gold bersama dengan komoditas lainnya seperti timah dan rare earth.
Baca Juga: Mantap! Rencana Tesla untuk bangun pabrik baterai di Indonesia segera terealisir
Tren lokomotif komoditas seperti minyak dan tembaga dinilai cukup positif untuk menopang komoditas lainnya naik.
"Jadi logam industri lainnya bisa jadi mirip atau mendekati tren positif tembaga. Apalagi di kuartal III-2020 base metal sudah naik 8,95%," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (16/11).
Sentimen lain yang bisa mengerek harga nikel adalah terkait perkembangan vaksin Covid-19. Untungnya, pasar sudah lebih dulu price in, di mana banyak komoditas mulai rebound setelah anjlok di bulan April 2020 lalu.
Sentimen penggelontoran stimulus yang banyak dilakukan beberapa negara dan dan bank sentral, serta dampak dari tren reflationary trade juga masih jadi penopang.
Meskipun begitu, Wahyu menilai penemuan vaksin mungkin saja akan mempersulit adanya stimulus fiskal (stimulus kesehatan dan tenaga kerja) yang lebih besar. Selain itu, presiden terpilih AS Joe Biden juga memiliki banyak agenda seperti Green New Deal dan kenaikan pajak. Berbagai kebijakan Biden tersebut, tentunya bakal memicu defisit anggaran yang lebih dalam.
"Kekurangan stimulus fiskal bakal menahan efektifitas kebijakan tersebut bagi pemulihan ekonomi yang memang tidak mudah. Sehingga, vaksin bukan satu-satunya solusi bagi krisis ekonomi AS,khususnya terkait masalah tenaga kerja," jelas Wahyu.
Meskipun begitu, tantangan ekonomi AS tersebut berpotensi membuka jalan bagi The Federal Reserve untuk maju dan memberikan stimulus moneter. Jika itu terjadi, maka akan mendukung bullish emas dunia dan mempertahankan reflationary trade dan menekan the greenback.
"Jadi dalam jangka pendek (nikel) masih bisa koreksi atau fluktuasi, namun di jangka menengah dan panjang nikel masih menjadi salah satu yang terdepan dan menjanjikan," ujar dia.
Apalagi, jika melihat pergerakannya sepanjang 2020, nikel termasuk komoditas yang paling awal kembali mencetak level tertinggi yakni di level Januari 2020 yakni US$ 14.432 per ton pada Agustus lalu. Kenaikan berlanjut dan menyentuh level US$ 15.812 per ton di September lalu.
Baca Juga: Harga minyak kembali melonjak 1% di tengah harapan pembatasan pasokan OPEC+
Prediksinya, di kuartal IV-2020 nikel masih mencoba menguat menembus level US$ 17.000 per ton, bahkan level US$ 18.000 per ton bukan lagi level yang mustahil di tahun ini.
Sedangkan untuk kuartal I-2021, Wahyu memprediksi target harga tertinggi US$ 18.884 per ton bisa ditembus dan sangat potensial di uji. Bahkan, level tersebut cukup potensial ditembus dan berlanjut hingga ke level US$ 20.000 per ton di tahun depan.
Selanjutnya: Harga emas tergelincir hampir 1% usai rilis hasil ujicoba vaksin Covid-19 Moderna
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News