Reporter: Kenia Intan | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sukses mencatatkan kenaikan dalam beberapa hari terakhir, belum bisa menjamin prospek positif tembaga hingga akhir tahun. Apalagi sentimen utama seperti perang dagang antara AS dan China, serta penguatan dollar AS masih menghantui pergerakan komoditas logam tersebut.
Mengutip Bloomberg, harga tembaga untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) menguat sebanyak 0,38% pada perdagangan Selasa (15/10) ke level US$ 5.818 per metrik ton.
Baca Juga: Ada Kabar, Merdeka Copper (MDKA) dan PSAB Sepakati Kerjasama Operasional di Gorontalo
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, sepanjang kuartal II-2019 sektor logam cenderung turun 8,14%, setelah sempat naik 10,77% di kuartal sebelumnya. Untuk kuartal III-2019, sektor berhasil menguat kembali 2,71%, didukung kenaikan harga nikel sebanyak 36%.
Dalam sembilan bulan pertama 2019, Tembaga LME 3,70% lebih rendah untuk tahun ini. Sebagian besar harga logam dasar mengalami tekanan jual karena meningkatnya sengketa perdagangan. Selain itu, penguatan pada dollar AS turut menjadi bearish lain untuk pergerakan harga komoditas logam.
Sementara itu, optimisme atas kesepakatan perang dagang antara AS dengan China telah mengubah pasar dalam beberapa bulan terakhir menambah volatilitas harga di sektor komoditas industri.
"Harga lumayan stabil, konsolidatif walau masih ada ancaman dari perang dagang dan penguatan dollar AS. Tapi untuk jangka menengah dan akhir tahun masih konsidatif," jelas Wahyu kepada Kontan Selasa (15/10).
Baca Juga: Akan mengoperasikan tambang emas, simak prospek saham BRMS
Untuk jangka menengah, Wahyu memperkirakan harga tembaga berada di rentang US$ 5.300 per metrik ton, hingga US$ 6.400 per metrik ton. Sedangkan di akhir tahun, harga tembaga diprediksi bakal bertengger di level US$ 5.800 per metrik ton.
Wahyu menjelaskan, saat ini harga LME masih berada di sekitar plus minus US$ 6.000 per metrik ton. Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan menuju level US$ 5.000 per metrik ton, untuk kemudian potensial rebound.
"Dan sepertinya harga sulit untuk tembus US$ 7.000 per metrik ton tahun ini, kalaupun tembus akan tertolak. Apalagi dollar AS masih mebguatn dan perang dagang masih mengancam," jelasnya.
Ditambah lagi, beberapa data yang dipublikasikan sejauh ini menunjukkan penurunan aktivitas manufaktur global akibat sentimen perang dagang AS-Cina yang terus berlanjut. Memburuknga sentimen makro ekonomi di global juga turut mempengaruhi pergerakan harga tembaga tahun ini.
Alhasil, meskipun sentimen perang dagang tengah mereda saat ini, data ekonomi masih belum mendukung penguatan lebih jauh. Sebagaimana diketahui Biro Statistik Nasional China mencatat Indeks harga produsen (PPI) Negeri Tirai Bambu di September turun 1,2% year on year (yoy). Penurunan tersebut jadi yang tercepat dalam lebih tiga tahun.
Baca Juga: Harga minyak sedikit naik dipicu kekhawatiran pasokan akibat geopolitik Timur Tengah
Untuk itu, pergerakan harga tembaga dalam sepekan diperkirakan masih konsolidatif dan terancam pelemahan di kisaran US$ 5.600 per metrik ton hingga US$ 6.000 per metrik ton. Adapun rekomendasi untuk sepekan, Wahyu menganjurkan untuk buy on weaknes saat harga mendekati level US$ 5.400 per metrik ton.
"Namun saat harga mendekati level US$ 6.000 per metrik ton, lebih baik sell on strength," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News