Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2021 sepertinya masih akan jadi tahun yang penuh tantangan bagi emiten ritel, termasuk PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Pandemi yang belum kunjung berakhir dan daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya akan menjadi tantangan bagi bisnis LPPF.
Analis Ciptadana Sekuritas Robert Sebastian mengatakan efek pandemi pada tahun lalu adalah berkurang secara drastisnya kunjungan masyarakat ke mall dan pusat perbelanjaan yang pada akhirnya ikut memengaruhi kinerja LPPF. Bahkan, LPPF harus menutup sebanyak 22 gerai sepanjang tahun lalu karena dianggap kinerjanya di bawah ekspektasi dan tidak menguntungkan.
“Namun, melalui penutupan gerai yang tidak menguntungkan ini, diharapkan ke depan LPPF bisa lebih fokus ke gerai yang tersisa. Dengan demikian hal ini berpotensi membuat kinerjanya lebih baik dan mengurangi beban operasional perusahaan,” kata Robert ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (1/2).
Baca Juga: IHSG melonjak 3,50% ke 6.067 pada akhir perdagangan Senin (1/2), asing catat net sell
Sementara analis Maybank Kim Eng Sekuritas Wiily Goutama dan Aurellia Setiabudi dalam risetnya pada Desember silam menuliskan, kini LPPF hanya memiliki gerai sebanyak 147 unit, padahal pada 2019 jumlahnya ada 169 gerai. Bahkan, pada tahun ini LPPF akan memasukkan sebanyak 23 gerai dalam list yang akan diperhatikan kinerjanya.
“Artinya ada risiko bahwa toko-toko yang dalam pengawasan tersebut akan ditutup juga. Penutupan toko menurut kami akan membuat margin EBIT mengalami peningkatan. Namun tetap saja margin EBIT akan di bawah level sebelum pandemi, hal ini dikarenakan adanya potensi tekanan pada margin kotor dari diskon bersih-bersih inventaris LPPF,” tulis keduanya dalam riset.
Willy dan Aurelia meyakini prospek LPPF ke depan cenderung kurang menarik. Salah satu faktornya adalah LPPF yang dinilai kurang fokus dalam inisiatif perubahan haluan untuk department store-nya. Apalagi, secara jangka panjang penurunan gerai dan Stock Keeping Unit (SKU) akan memberi dampak negatif terhadap outlook laba bersih LPPF.
Keduanya pun memperkirakan proses pemulihan daya beli kelompok menengah, yang merupakan target pelanggan LPFF, akan berjalan lambat. Menurutnya, segmen ini merupakan yang terendah dalam urusan rasio tabungan jika merujuk data Badan Pusat Statistik, yakni hanya 18% dari pendapatan bulanan.
Baca Juga: Mayoritas volume penjualan komoditas ANTM menurun, simak rekomendasi sahamnya
“Apalagi, pemerintah juga tidak banyak memberikan bantuan kesejahteraan ke kelompok ini. Sehingga pemulihan daya belinya akan cenderung lambat,” imbuh Willy dan Aurelia.
Sementara, Robert melihat prospek LPPF pada tahun ini tergantung pada momentum perayaan hari raya Idul Fitri apakah akan seperti tahun lalu atau sudah kembali seperti semula. Pasalnya, pada momen lebaran, hasil penjualannya akan berkontribusi pada 30-40% ke total penjualan LPPF.
Jika bicara sentimen positif, Robert menyebut katalis positif datang dari program vaksinasi yang bisa menambah jumlah pengunjung. Apabila vaksinasi berhasil, diharapkan kebijakan pembatasan akan semakin longgar dan bisa menambah jam operasional toko dan mall. Sehingga diharapkan bisa meningkatkan penjualan LPPF.
“Tapi jika program vaksinasi tidak berjalan sesuai harapan, tentu akan berbalik jadi sentimen negatif. Ditambah lagi, dengan LPPF yang merugi pada tahun lalu, artinya tidak akan ada dividen pada tahun ini sehingga membuat LPPF kurang menarik bagi investor,” jelas Robert.
Masih soal sentimen negatif, analis BRI Danareksa Sekuritas Andreas Kenny mengatakan aksi LPPF pada November 2020 kemarin yang melakukan pembelian 16,4% saham Bank Nobu senilai Rp 549,8 miliar. Kevin menilai aksi ini kurang tepat mengingat pembelian dilakukan pada situasi tengah pandemi serta LPPF dalam posisi net debt sebesar Rp 492 miliar.
Baca Juga: IHSG melonjak 3,50% ke 6.067 pada Senin (1/2), asing lepas BMRI, BBCA, ASII
“Akuisisi ini juga tidak berkaitan dengan sektor bisnis ritel. Terlepas dari peluang sinergi antara LPPF dengan Bank Nobu, dan juga potensi upside jika rencana digitalisasi Bank Nobu terbukti berhasil, nyatanya transaksi ini justru membuat banyak investor menjauh dari LPPF,” terang Kenny dalam risetnya pada 29 Desember 2021.
Dari segi kinerja, Kenny melihat seiring traffic pengunjung mall yang mulai mengalami peningkatan, pada akhirnya ikut mendorong perbaikan penjualan. Proyeksinya, penjualan LPPF pada kuartal IV-2020 akan naik 50% secara kuartalan menjadi Rp 1,67 triliun. Sementara dari sisi bottom line, LPPF berhasil mengurangi kerugian sebanyak 54,2% secara kuartalan menjadi Rp 118,5 miliar.
Dus, proyeksi Kenny pada tahun lalu LPPF akan mencatatkan pendapatan sebesar Rp 5 triliun dengan membukukan rugi bersih senilai Rp 735 miliar. Sementara untuk tahun ini, ia meyakini kinerja LPPF bisa membaik dan membuat bottom line mereka akan kembali berada pada area positif. Ia memproyeksikan penjualan LPPF akan mencapai Rp 7,7 triliun dan mengantongi laba bersih sebesar Rp 511 miliar.
Baca Juga: IHSG menguat 1,50% ke 5.950 pada Senin (1/2) siang, jual bersih asing Rp 246 miliar
Walaupun mengalami perbaikan kinerja, Kenny merekomendasikan sell LPPF dengan target harga Rp 1.200 per saham. Menurutnya, sebaiknya investor perlu menunggu dan melihat bagaimana LPPF mengeksekusi inisiatif untuk mengembalikan keadaan pada tahun ini, serta perkembangan dari sinergi LPPF dengan Nobu.
Sementara Willy dan Aurellia juga memberi rekomendasi sell dengan target price Rp 500 per saham berdasarkan 3.6x FY21E P/E, dan 1.5SD yang di bawah rata-rata tiga tahunnya. Lalu, Robert menyarankan investor untuk hold saham LPPF dengan target harga Rp 1.250 per saham.
Selanjutnya: Reksadana pendapatan tetap jadi reksadana berkinerja paling tinggi dalam sepekan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News