Reporter: Amalia Fitri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan ekonomi global dan domestik yang terjadi pada tahun lalu saat ini dinilai mulai pudar dan beralih kondusif.
Freddy Tedja, Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam Market Update edisi Maret 2019, menelaah keadaan tersebut dari lima indikator.
"Pertama, adalah ekspektasi pertumbuhan ekonomi. Kedua, sentimen-sentimen yang ada di pasar finansial. Ketiga, kebijakan moneternya seperti apa. Keempat adalah valuasi aset di pasar finansial, dan kelima adalah arus dana masuk dan keluar," jelas Freddy dari rilis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (20/3).
Secara rinci, Freddy menjabarkan, bahwa tahun lalu ekspektasi pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan terus menguat. Saat itu, optimisme makin tinggi karena adanya pemotongan pajak di Amerika Serikat (AS). "Karena optimisme yang tinggi itulah, ada kekecewaan sedikit saja, lantas bisa mengguncang pasar," kata Freddy.
Sebaliknya, di tahun ini ekspektasi pertumbuhan ekonomi rendah. Hal ini dilihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang diturunkan sebanyak dua sampai tiga kali. Jika sampai ada sedikit kejutan yang baik, hal ini bisa menopang pasar finansial. "Ekspektasi tahun lalu cenderung terlalu tinggi, sementara saat ini ekspektasi sudah berada di level yang sangat rendah," imbuh Freddy.
Indikator yang kedua adalah sentimen di pasar finansial. Maret tahun lalu, berita mengenai perang dagang atau konflik perdagangan antara AS dan China, mulai berhembus. Sebaliknya, di Maret tahun ini, kabar negosiasi untuk mencari solusi perang dagang, sudah semakin mengerucut.
"Jadi sangat berbeda. Tahun lalu, eskalasi, saling berbalas pengenaan tarif, tidak ada yang mau mengalah. Sementara saat ini, kedua negara cenderung untuk mencari solusi," paparnya.
Indikator selanjutnya adalah kebijakan moneter. Tahun lalu, The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga AS sebanyak empat kali. Keputusan tersebut membuat negara lain terpaksa menaikkan suku bunganya.
Sebaliknya, tahun ini The Fed sudah tidak seagresif tahun lalu. Proyeksi kenaikan tahun ini hanya naik satu sampai dua kali saja. Pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tekanan untuk menaikkan suku bunga sudah jauh berkurang. Apalagi mata uang rupiah saat ini sudah semakin stabil.
Indikator keempat adalah valuasi aset. Tahun lalu, di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi global, valuasi pasar saham Asia dan Indonesia, berada di level premium, yang cenderung lebih mahal di atas rata-rata lima tahun. Sementara saat ini, valuasi pasar saham Asia dan Indonesia, berada di level lebih wajar, setelah sepanjang akhir tahun lalu juga mengalami penurunan.
Indikator terakhir adalah, pergerakan arus dana investor asing keluar dan masuk dari Indonesia. Pada tahun 2017, IHSG naik hampir 20% (19,99%). Kondisi ini membuat, investor asing di awal 2018, dengan leluasa bisa keluar dari Indonesia, atau melakukan profit taking.
"Saat itu terjadi gonjang-ganjing perang dagang. Sebaliknya saat ini, dengan perbaikan arah negosiasi perdagangan AS dengan China, lalu kebijakan moneter yang tidak seketat tahun lalu, stabilitas nilai tukar di Asia dan Indonesia, membuat investor asing masuk kembali ke emerging market atau Asia, termasuk juga ke Indonesia," jelas Freddy lagi.
Freddy tidak dapat memastikan jika pola pergerakan ekonomi tahun lalu akan terulang tahun ini. Namun dirinya cukup percaya diri memastikan jika pemicu penurunan yang terjadi di bulan Maret tahun lalu, boleh dikatakan hampir tidak ada. "Kondisi saat ini sudah sangat berbeda, sangat berubah, lebih kondusif," pungkas Freddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News