Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memulai sesuatu yang besar tidak harus selalu dilakukan secara besar-besaran. Hal inilah yang diterapkan oleh Liza Lavina, Executive Vice President Intermediary Business Schroders Investment Management, dalam melakukan investasi.
Semula, seperti kebanyakan orang, Liza tidak banyak mengenal produk investasi. Tak heran, awalnya ia hanya memanfaatkan deposito dan tabungan untuk menyimpan dana masa depannya. Wanita ini mengenang, di luar dua produk investasi mainstream tersebut, ia sesekali juga menjajal berinvestasi di valuta asing. Maklum, saat itu pekerjaannya banyak mengurusi travel check.
Semua berubah mulai periode 2005. Ini tahun di mana Liza mulai bergabung dengan salah satu perusahaan manajer investasi terbesar di Indonesia, yakni Schroders. Ini juga momen di mana Liza untuk pertama kalinya mengenal dunia pasar modal. "Jadi, kalau di pasar uang sebenarnya sudah lama. Tapi baru benar-benar kenal pasar modal semenjak masuk Schroders itu," kenang dia.
Liza tidak menyia-nyiakan kesempatan bekerja di perusahaan manajer invetasi ini. Tak butuh waktu lama, Liza langsung memutuskan untuk menjajal peruntungannya di pasar modal. Sedari awal, Liza langsung memilih reksadana sebagai portofolio investasi utama.
Alasannya cukup sederhana. Selain karena sebagai pegawai manajer investasi, Liza merasa tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola sendiri portofolio investasinya. "Pekerja kantoran itu waktunya kurang fleksibel. Jika bermain saham secara langsung pasti bakal merepotkan," tutur dia.
Liza berpendapat, berinvestasi saham langsung setidaknya butuh waktu khusus setiap hari untuk mencermati kondisi pasar, termasuk pergerakan harga saham. Karena itu, ia memilih menyerahkan pengelolaan investasi ke para manajer investasi.Sehingga, Liza bisa fokus pada pekerjaan.
Liza menuturkan, ia merasa perlu berinvestasi untuk menyiapkan dana pensiun. Sebagai pegawai kantoran, ia sadar suatu saat akan pensiun. Mengandalkan uang tabungan untuk hari tua dirasa kurang cukup. Karena itu, Liza memilih reksadana sebagai persiapan hari tua. Ia menilai imbal hasil atau return reksadana jika bakal lebih menguntungkan ketimbang tabungan atau deposito.
Tapi, dengan satu catatan. Return bakal jauh lebih optimal jika investasi ke reksadana dilakukan secara rutin. "Banyak buku yang juga mengajarkan soal itu. Makanya, saya rutin menyisihkan sebagian pemasukan saya, termasuk bonus, untuk membeli reksadana," aku Liza.
Harus jujur
Tak jarang, mereka yang berkecimpung di dunia pasar modal memiliki portofolio investasi yang bertolak belakang dengan profesinya. Portofolio di instrumen pasar modalnya justru kalah dominan dengan portofolio lain, seperti properti.
Lain halnya dengan Liza. Ia merasa profesi yang digelutinya merupakan jembatan bagi orang lain untuk masuk ke pasar modal. Ibarat orang berjualan, si pedagang harus benar-benar tahu spesifikasi barang dagangannya. Sehingga, si pembeli pun tidak membeli kucing dalam karung. "Saya selalu implementasikan itu, portofolio sesuai dengan profesi saya. Yang penting jujur," tutur Liza.
Dengan begitu, Liza menjadi benar-benar tahu dan paham apa yang dia tawarkan ke orang lain. Terlebih, produk reksadana sangat banyak variasinya.
Berbekal pengetahuan yang cukup dan berdasarkan pengalaman pribadinya, Liza tahu kapan harus melakukan rebalancing portofolio. Hal ini juga yang selalu ia ajarkan kepada orang lain.
Liza mengingatkan, setiap orang yang berinvestasi harus benar-benar mengetahui apa alasan di balik keputusannya berinvestasi.
Sebagai contoh, Liza kerap menjelaskan ia punya alasan berinvestasi untuk persiapan hari tua. Artinya, investasinya untuk jangka panjang. Untuk kebutuhan tersebut, maka reksadana saham yang paling cocok, terutama untuk pegawai kantoran. "Saya sendiri banyak di reksadana saham," pungkas Liza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News