Reporter: Nur Qolbi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan surat utang korporasi pada tahun 2024 diperkirakan akan lebih semarak dibanding tahun lalu. PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) memproyeksi, jumlah penerbitan baru surat utang korporasi di 2024 akan berkisar di Rp 148,15 triliun-Rp 169,05 triliun dengan titik tengah di Rp 155,46 triliun.
Titik tengah tersebut 19% lebih tinggi dari realisasi tahun 2023 yang berada di sekitar Rp 130 triliun. Chief Economist PEFINDO Suhindarto melihat ada beberapa kecenderungan di pasar terkait preferensi investor dalam memilih obligasi korporasi.
Menurutnya, beberapa investor nampaknya akan lebih menoleransi risiko untuk mendapatkan return tinggi. Pasalnya, risiko ketidakpastian pada tahun ini diprediksi lebih rendah dibanding tahun lalu ataupun selama masa pandemi Covid-19.
Selain itu, tingkat suku bunga tinggi saat ini merupakan kesempatan untuk mengoleksi surat utang berkupon tinggi sebelum mulai langka di pasar seiring dengan langkah pelonggaran moneter oleh bank sentral. Sebagaimana diketahui, penurunan suku bunga akan mendorong penurunan kupon surat utang korporasi.
"Sehingga, awal tahun ini menjadi kesempatan untuk memburu surat utang baru berkupon tinggi," ucap Suhindarto saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (8/1).
Baca Juga: Pemerintah Tawarkan 8 SBN Ritel di 2024, Total Nilainya Bisa Capai Rp 150 Triliun
Kemudian, untuk sektor dan tenor yang banyak dipilih, hal tersebut dinilai akan bergantung pada selera investor dan pasokan yang ada. Berdasarkan penelusuran PEFINDO, alokasi investor institusi utama per November 2023 relatif terdistribusi ke berbagai sektor dan tidak ada yang mendominasi.
Secara umum, alokasi sektor investor institusi tertuju pada perusahaan keuangan seperti bank dan multifinance. Hal ini terjadi karena memang pasokan surat utang yang beredar sebagian besar berasal dari kedua sektor tersebut. Pengecualian adalah dana pensiun, yang mana memiliki sedikit alokasi ke surat utang dari industri multifinance.
Sementara itu, dari sisi tenor, tenor 1 tahun dan 3 tahun kemungkinan akan menjadi favorit karena memang pasokannya cukup tinggi. Namun, Suhindarto melihat beberapa investor juga memburu tenor yang lebih panjang, seperti 5 tahun untuk mendapatkan kupon tinggi di tengah skenario suku bunga tinggi.
Menurut Suhindarto, pasar obligasi korporasi saat ini masih tidak likuid. "Alhasil sulit untuk mendapatkan capital gain dari perdagangan sehingga sebagian besar investor lebih suka untuk hold to maturity," kata Suhindarto.
Yang jelas, dalam berinvestasi di obligasi, dua faktor yang perlu menjadi pertimbangan utama investor adalah return dan risiko. Return dicerminkan dari besaran kupon, sedangkan risiko dicerminkan dari sisi peringkat.
Baca Juga: Pemerintah Lelang Tujuh Seri Sukuk, Selasa (9/1, Target Indikatif Rp 12 triliun
Pertimbangan faktor kondisi makroekonomi juga berperan, terutama dalam perpindahan alokasi antar kelas aset lain seperti saham demi memaksimalkan tingkat pengembalian pada tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Dengan ekspektasi adanya penurunan suku bunga, pasar saham mungkin menjadi lebih menarik dibanding sebelumnya karena prospek pertumbuhan ekonomi akan lebih baik.
Penurunan suku bunga akan mendorong permintaan agregat yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi ini, pasar saham menjadi lebih menarik karena pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat akan meningkatkan prospek keuntungan para emiten.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News