Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten properti di dalam negeri bakal menghadapi tantangan berat dalam hal pendanaan. Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings memberi peringatan bahwa kondisi pendanaan luar negeri untuk pengembang properti di Indonesia akan semakin ketat.
Hal ini perlu jadi perhatian, lantaran pada 2025 mendatang, ada cukup banyak utang jatuh tempo emiten properti. Menurut S&P, nilai obligasi global jatuh tempo tahun depan mencapai US$ 170 juta atau sekitar Rp 11 triliun. Masalahnya, banyak emiten yang belum punya kesiapan dana untuk melunasi pinjaman yang akan jatuh tempo tersebut.
Baca Juga: Harga Emas Antam dan UBS di Pegadaian Hari Ini, Selasa (9/4/2024) Kompak Turun
Dalam laporannya Senin (8/4) kemarin, S&P mengatakan, saat ini memperoleh pendanaan luar negeri akan semakin sulit. Pendorong utama kelayakan kredit pengembang properti Indonesia pada tahun 2024 adalah kemampuan mereka untuk melakukan pembiayaan kembali jauh sebelum jatuh tempo.
“Kami memperkirakan pengembang properti Indonesia akan merestrukturisasi sebagian besar obligasi yang akan jatuh tempo sebelum akhir tahun 2025, jika kondisi pendanaan luar negeri masih sulit. Kami mengantisipasi lebih sedikit surat utang yang jatuh tempo yang akan menjalani tender di bawah standar, dibandingkan pada periode putaran restrukturisasi 2022-2023 lalu," tulis analis S&P Fiona Chen dan Simon Wong dalam laporannya, kemarin.
Baca Juga: Gawat! Target Drone Ukraina Hancurkan Pembangkit Nuklir Rusia
Selama ini, meningkatnya biaya pinjaman luar negeri juga membuat para emiten properti untuk mencari pendanaan dari bank dalam negeri. Tapi, S&P melihat bank dalam negeri kemungkinan besar juga tidak dapat sepenuhnya memenuhi permintaan dana para pengembang.
Menurut S&P, pengembang yang memiliki aset tanpa jaminan berkualitas tinggi dan kondisi keuangan yang sehat lebih besar punya kemungkinan lebih besar untuk mendapat pinjaman bank dalam negeri untuk menebus sebagian atau seluruh surat utang yang jatuh tempo.
Restrukturisasi utang mungkin tidak akan terlalu memperbaiki profil leverage atau meningkatkan kualitas kredit secara material. "Namun dapat mengatasi krisis likuiditas dalam 12 bulan ke depan," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News