kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Laba bersih emiten BUMN dan anak usaha tembus Rp 81 triliun, simak rekomendasi ini


Jumat, 03 Desember 2021 / 06:05 WIB
Laba bersih emiten BUMN dan anak usaha tembus Rp 81 triliun, simak rekomendasi ini


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laba bersih emiten-emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN), anak usaha BUMN, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) selama sembilan bulan pertama 2021 sudah tembus Rp 81 triliun. Angka ini didapat dari 27 emiten dalam kategori tersebut yang sudah menyampaikan laporan keuangan periode Januari-September 2021 per Kamis (2/12) pagi di situs web Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sebanyak 27 emiten ini berasal dari berbagai sektor, mulai dari perbankan, konstruksi, pertambangan, transportasi, energi, farmasi, semen, telekomunikasi, pariwisata, barang konsumsi, hingga industri baja. Ada 24 emiten yang menggunakan mata uang rupiah dalam laporan keuangannya, sementara tiga emiten sisanya menggunakan dollar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan perhitungan Kontan.co.id dari data tersebut, akumulasi laba bersih 24 perusahaan yang menggunakan mata uang rupiah mencapai Rp 81,07 triliun. Perolehan ini bertambah Rp 25,66 triliun atau meningkat 46,31% year on year (yoy) dari realisasi laba bersih periode sama tahun 2020 yang sebesar Rp 55,41 triliun.

Sementara itu, akumulasi bottom line tiga emiten yang menggunakan mata uang dolar AS dalam laporannya, yakni PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) justru merugi US$ 1,32 miliar. Jumlah ini naik 25,5% yoy dari akumulasi rugi bersih per September 2020 yang sebesar US$ 1,05 miliar yang disebabkan oleh membengkaknya rugi GIAA.

Baca Juga: Realisasi Suntikan Modal BUMN & BLU Rp 96 Triliun

Secara umum, sebagian besar emiten tersebut (16 dari 27 perusahaan) mencatatkan kenaikan laba bersih single digit, puluhan persen, hingga ratusan persen. Enam emiten juga berhasil membalikkan rugi bersih menjadi laba bersih, yaitu PT Indofarma Tbk (INAF), PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC), PT Semen Baturaja (Persero) Tbk (SMBR), PT Timah Tbk (TINS), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), dan Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS).

Di sisi lain, dua emiten justru mencatatkan penurunan laba bersih, yakni PT Elnusa Tbk (ELSA) sebesar 79,925% yoy menjadi Rp 37,36 miliar dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) minus 9,99% yoy menjadi Rp 1,39 triliun. Sementara sisa tiga perusahaan masih membukukan kerugian, sebut saja GIAA, PT BPD Banten Tbk (BEKS), dan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA).

Untuk tahun 2022, Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menilai, secara keseluruhan, potensi perbaikan kinerja keuangan tahun depan terbuka seiring dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dari proyeksi tahun 2021. Upaya vaksinasi juga dapat mengurangi risiko ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 meski di akhir tahun ini perlu mencermati perkembangan varian baru Omicron.

Akan tetapi, sektor perbankan dan konstruksi bangunan menjadi yang paling ia jagokan. Menurut dia, perbankan BUMN terutama yang berkapitalisasi pasar besar masih akan mampu melanjutkan kinerja positifnya. Bahkan, industri perbankan diprediksi bakal menjadi penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun depan.

Baca Juga: Perkuat permodalan, BNI dan BTN siap gelar rights issue pada tahun 2022

Hal ini didasari oleh pengalaman pada tahun 2013 dan 2014 lalu. Pada saat itu, saham-saham perbankan menjadi yang pertama kali rebound setelah fluktuasi akibat tapering off Federal Reserve. Terlebih lagi, Sektor Perbankan Indonesia (SPI) juga berada dalam tren positif, terutama sejak memasuki kuartal ketiga 2021 sejalan dengan perbaikan berbagai indikator aktivitas konsumsi dan manufaktur.

"Tren positif ini diperkirakan berlanjut hingga tahun 2022, didasari ekspektasi peningkatan kebutuhan pendanaan sejalan dengan pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia," ungkap Valdy saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/12).

Lebih lanjut, meningkatnya permintaan pendanaan juga ditopang oleh kecenderungan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan kebijakan moneter akomodatif hingga tahun 2022. Terbaru, BI kembali mempertahankan 7-day RR Rate di level 3,50% pada November 2021.

Selain perbankan, BUMN konstruksi bangunan juga menjadi salah satu sektor yang dapat diperhatikan di tahun 2022 seiring dengan kinerja yang diperkirakan membaik. Terlebih lagi, terdapat perkembangan positif atas upaya divestasi dan restrukturisasi utang dari emiten-emiten konstruksi di tahun 2021.

"Pertimbangan lainnya adalah alokasi anggaran untuk infrastruktur yang masih cukup besar di tahun 2022, yakni Rp 384,8 triliun. Hal ini menunjukkan fokus pemerintah pada upaya pemerataan infrastruktur, termasuk rencana pemindahan Ibu Kota Negara," kata Valdy.

Ia juga memprediksi, kinerja keuangan produsen semen bakal ikut membaik di tahun 2022. Potensi tersebut sejalan dengan pemulihan sektor properti dan ekspektasi berlanjutnya fokus pemerintah pada pemerataan infrastruktur di Indonesia.

Baca Juga: Anggota Komisi VI DPR ini minta Erick Thohir evaluasi komisaris Pertamina

Oleh sebab itu, saham-saham dari tiga sektor tersebut menjadi pilihan teratasnya. Ia merekomendasikan BBNI dengan target harga Rp 8.300 per saham, BBRI Rp 4.850, BMRI Rp 8.300, WIKA Rp 1.463, WSKT Rp 1.050, PTPP Rp 1.410, dan SMGR Rp 11.500 per saham.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas juga melihat prospek bagus pada saham-saham emiten yang berhasil mencatatkan kenaikan laba. Begitu juga dengan emiten yang membalikkan rugi menjadi laba. "Peluang untuk kembali tumbuh akan selalu ada seiring pemulihan ekonomi," ucap Sukarno.

Sukarno menilai, saham-saham perbankan, telekomunikasi, dan infrastruktur menarik untuk diperhatikan. Sebut saja BBRI, BBTN, BMRI, BBNI, TLKM, JSMR, WSKT, PTPP, ADHI, WIKA, ANTM, PGAS, dan PTBA.  "Investor bisa buy saham-saham tersebut, tetapi tetap perhatikan teknikal kalau mau masuk. Ketika sudah ada sinyal, baru bisa beli," ucap dia.

Di samping itu, emiten-emiten yang mencatatkan penurunan bottom line juga berpeluang untuk tumbuh seiring pemulihan ekonomi. Bahkan, yang masih merugi bisa saja kembali laba meskipun agak berat terutama untuk GIAA.

Menurut dia, GIAA baru bisa berpotensi laba jika kondisi penerbangan sudah normal. Bernada serupa, Valdy pun melihat emiten BUMN terkait bisnis perjalanan masih akan menemui hambatan pada tahun depan.  "Sektor ini diperkirakan bisa pulih sepenuhnya jika Covid-19 benar-benar sudah terkendali di Indonesia. Sementara saat ini saja dunia masih dihadapkan dengan risiko varian baru jadi kondisi 2022 masih akan menantang," ungkap Valdy.

Baca Juga: Laba bersih emiten BUMN dan anak usahanya tembus Rp 81 triliun per September 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×