Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah terus menunjukkan ototnya. Di pasar spot, Senin (11/7) nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat 0,55% menjadi Rp 13.107. Serupa, valuasi rupiah di kurs tengah Bank Indonesia (BI) terkerek 0,45% dalam sepekan ke level Rp 13.112 per dollar AS.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjelaskan, pergerakan positif mata uang Garuda setelah libur Lebaran lantaran mendapat dorongan dari pengesahan Undang-Undang Tax Amnesty pada 28 Juni 2016 lalu. Ditambah, laju inflasi Juni yang hanya di angka 0,66% menjadi kabar positif.
Belum lagi sentimen eksternal yakni data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) berupa non farm payroll (NFP) bulan Juni naik menjadi 287.000 dari 11.000. Data tersebut membawa harapan, kenaikan impor dari negeri Paman Sam yang turut mengangkat mata uang negara-negara eksportir.
Research and Analyst PT Monex Investindo Futures Vidi Yuliansyah menambahkan, secara fundamental, rupiah terlihat lebih perkasa dibandingkan mata uang regional lain. Pergerakan rupiah seiring mata uang Asia yang menguat, lantaran didukung oleh optimisme stimulus ekonomi China. Apalagi setelah setelah angka inflasi negeri tersebut bulan Juni turun ke level 1,9%, dibandingkan sebelumnya 2%.
Gugatan tax amnesty
Untuk selanjutnya, David berharap UU Tax Amnesty dapat diterapkan dan berhasil membawa aliran dana ke dalam negeri. Namun, ketidakpastian penerapan UU Tax Amnesty kian masih tinggi, setelah muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi. "Ini bisa membawa sentimen negatif bagi nilai tukar rupiah," lanjut David.
Tapi David kembali menegaskan, secara fundamental rupiah terbilang kokoh. Dorongan penguatan lantaran angka inflasi yang sesuai proyeksi, cadangan devisa dan neraca perdagangan masih ada di level aman.
David memprediksi, pergerakan rupiah sampai akhir tahun berpeluang menguat, namun tidak signifikan. Penguatan yang terlalu tajam malah beresiko mengusik posisi neraca perdagangan Indonesia.
"BI tidak akan membiarkan rupiah terlalu menguat tajam, karena akan mengurangi daya saing Indonesia di pasar ekspor," paparnya.
Secara eksternal, kondisi ekonomi China sebagai negara tujuan ekspor utama Indonesia juga akan mempengaruhi rupiah. Disusul harga minyak dunia serta kebijakan suku bunga The Fed.
Sejalan, Vidi melihat, outlook rupiah hingga akhir tahun akan cenderung positif seiring mengecilnya kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga. Ini terjadi setelah hasil referendum Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) yang malah memicu ketidakpastian global. Apalagi proses keluarnya Inggris memakan waktu cukup lama, yakni sekitar dua tahun.
"The Fed kemungkinan akan mempertimbangkan kembali kenaikan suku bunga pada awal tahun atau pertengahan tahun 2017," terangnya.
Dengan kondisi global saat, Vidi melihat, rupiah berada di level nyaman. Sedangkan data ekonomi dalam negeri cenderung stabil, menunjukkan jika paket kebijakan ekonomi pemerintah mulai memperlihatkan hasilnya.
Prediksi Vidi, rupiah bergerak pada rentang Rp 12.900 –Rp 13.200 hingga akhir tahun 2016. Sementara David menduga, rupiah hingga akhir tahun akan bergerak pada kisaran Rp 13.000 – Rp 13.500 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News