Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham-saham penambang logam mineral diyakini masih punya daya tarik, seiring dengan prospek komoditas emas, nikel, dan timah yang masih cukup baik.
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Samuel Glenn Tanuwidjaja menilai, harga emas global akan tetap stabil sampai Juni 2022.
Proyeksi ini dengan melihat investor global yang cenderung beralih ke safe haven assets saat volatilitas stock market meningkat. Setidaknya ada dua sentimen yang akan mempengaruhi harga emas ke depan.
Pertama, tapering yang dilakukan Federal Reserve. Ketika tapering dimulai, kebijakan ini akan mengurangi likuiditas di sektor finansial global.
Hal tersebut mempersempit ruang lending activity global banks terhadap korporasi-korporasi di negara maju, sehingga membuat harga saham-saham korporasi cenderung turun.
Nah, emas menjadi aset yang cukup resisten dari sentimen pengurangan stimulus global tersebut.
Baca Juga: Prospek Emiten Logam Masih Cerah, Terdorong Harga Komoditas
Kedua, kenaikan pertumbuhan inflasi. Sebagaimana diketahui, data terakhir mencatat inflasi Amerika Serikat (AS) periode Oktober 2021 naik lebih tinggi di luar ekspektasi konsensus, sehingga menimbulkan kecemasan bahwa harga barang-barang dan jasa akan semakin bertumbuh.
Hal ini mengakibatkan sebagian daya beli (purchasing power) konsumen semakin berkurang. Secara psikologis, investor cenderung membeli emas, dimana exchange value-nya lebih resisten terhadap inflasi, sama seperti nilai tanah atau properti.
Sentimen ini cukup vital terhadap PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), karena 70% sumber pendapatan ANTM berasal dari penjualan emas.
“Ketika harga emas global naik, harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) ANTM cenderung naik,” terang Glenn kepada Kontan.co.id, Senin (15/11).
Glenn memproyeksi outlook harga emas COMEX kembali ke level US$ 1.800-US$ 1.830 per troy ounce di 2022.
Sentimen lainnya adalah secara historis, permintaan emas cenderung naik menjelang bulan-bulan perayaan seperti Desember atau Januari. Perayaan-perayaan seperti tahun baru, tahun baru kalender lunar (Imlek), dan festival Diwali di India biasanya menggunakan emas sebagai hadiah acara-acara penting.
Tak hanya emas, nikel juga dinilai punya prospek yang baik. Glenn memasang sikap overweight untuk industri nikel dikarenakan banyaknya katalis positif. Pertama, secara historis, pertumbuhan permintaan untuk stainless steel global dari China masih cukup stabil.
Kedua, penggunaan nikel di pabrik-pabrik kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di China, Eropa, dan Amerika Serikat (AS). Selain Tesla, Volkswagen, dan Toyota, dua emiten terbesar di dunia juga giat memproduksi mobil listrik.
Indonesia turut menjalin kerjasama dengan LG Group dari Korea Selatan untuk segmen manufaktur electric battery, yang dilakoni oleh MIND ID (induk BUMN tambang) dan Pertamina.
“Ke depan, saya memproyeksi harga nikel global cukup stabil di kisaran US$ 19.500 per ton sampai US$ 19.800 per ton,” sambung Glenn.
Baca Juga: Simak rekomendasi teknikal saham JSMR, TCPI, dan SMGR untuk hari ini (17/11)
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga punya prospek yang menarik. Dengan investasi smelter yang meningkatkan produksi tahun depan, INCO mengonversi produk nikelnya menjadi beberapa komponen baterai kendaraan listrik dan berpotensi meningkatkan volume produksi stainless steel.
Glenn merekomendasikan beli saham ANTM dengan target harga Rp 2.860 dan menyematkan rekomendasi overweight saham INCO dengan target harga Rp 5.500.
Harga timah yang solid juga mendongkrak kinerja PT Timah Tbk (TINS). Emiten pelat merah ini membukukan laba bersih sebesar Rp 612 miliar per akhir kuartal ketiga 2021. Ini berbanding terbalik dari periode yang sama tahun lalu dimana TINS menanggung kerugian bersih Rp 255 miliar.
Analis BRIDanareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri menilai, kinerja mentereng TINS tidak terlepas dari harga nikel yang solid dan beban bunga yang menurun 48,1% secara year-on-yeear (yoy). Kondisi ini membantu TINS menutupi dampak dari penurunan volume penjualan timah olahan yang menurun 58,2% yoy.
Seiring dengan kinclongnya kinerja TINS, Stefanus menaikkan target harga TINS menjadi Rp 1.800 dari sebelumnya Rp 1.700. Naiknya target harga TINS juga seiring naiknya asumsi harga timah untuk tahun 2021 dan 2022.
Meskipun demikian, mengingat kenaikan harga yang terbatas, BRIDanareksa Sekuritas mempertahankan rekomendasi hold untuk saham TINS.
Selanjutnya: Diproyeksi konsolidasi, ini sentimen yang mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News