Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Istilah hostile takeover alias pengambilalihan paksa suatu perusahaan mendadak tenar. Ini setelah Direktur Utama PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) Joko Mogoginta melontarkan tudingan ada upaya hostile takeover terhadap AISA oleh pemegang saham lain, KKR & Co.
Lantas apa itu hostile takeover? Seperti disebut di atas, hostile takeover adalah pengambialihan paksa perusahaan. Namanya pengambilalihan perusahaan secara paksa tentu tidak mengenakkan. Sebab, proses akuisisi tidak melalui proses yang sewajarnya dan tidak lewat persetujuan dewan direksi perusahaan yang menjadi target akuisisi.
Kebanyakan akuisisi dan merger yang lazim terjadi di dunia bisnis melalui kesepakatan bersama. Kedua belah pihak setuju bahwa semua kepentingan pemegang saham harus dilayani dengan baik dari transaksi akuisisi tersebut.
Tetapi dalam banyak kasus pula, hostile takeover ini acap terjadi di dunia korporasi. Salah satu contoh paling baru misalnya, seperti dilansir Reuters, Jumat (27/7), perusahaan tambang asal Kanada, Lundin Mining Corp mengajukan penawaran akuisisi paksa senilai US$ 1,4 miliar atas Nevsun Resources Ltd.
Langkah hostile takeover ini ditempuh setelah Lundin gagal membujuk dewan direksi Nevsun untuk melakukan kesepakatan akuisisi yang sudah digagas selama sembilan bulan terakhir. Sudah berkali-kali, manajemen Nevsun menolak menyetujui proposal akuisisi yang disodorkan Lunding Mining.
"Setiap kali kami mempresentasikan proposal, tiang gawang berubah," kata CEO Lundin Mining Paul Conibear seperti dikutip Reuters.
Hilang kesabaran, akhirnya Lundin Mining menempuh jalan hostile takeover. Untuk memboyong paksa Nevsun, Lundin Mining menyodorkan penawaran premium alias jauh di atas harga pasar Nevsun. Yakni 82% di atas harga rata-rata saham Nevsun pada Februari 2018.
Intinya dalam hostile takeover ini, investor atau perusahaan yang sudah ngebet ingin mengakuisisi perusahaan lain, tetap ngotot ingin mengambil alih meskipun dewan direksi perusahaan yang menjadi target akuisisi menolak.
Nah, salah satu cara hostile takeover ini adalah dengan memulai pengambilalihan saham melalui penawaran tender. Si penawar menyodorkan untuk membeli saham perusahaan yang menjadi target akuisisi dengan harga di atas harga pasar. Cara ini yang dilakukan Lundin Mining atas Nevsun.
Cara lain adalah dengan memperoleh saham mayoritas di perusahaan yang diincar melalui pasar. Jika itu tidak mungkin atau terlalu mahal harganya, masih ada cara lain, yakni si penawar akan membujuk pemegang saham lain dengan posisi cukup kuat untuk mendongkel manajemen perusahaan yang target menjadi akuisisi. Harapannya manajemen baru akan memuluskan proposal akuisisi yang disodorkan si penawar.
Nah, dalam kasus AISA, apakah ada indikasi hostile takeover oleh pemegang saham lain yakni KKR & Co, seperti yang ditudingkan Dirut AISA? Entahlah.
Yang pasti, Perwakilan KKR di Indonesia Jaka Prasetya yang juga Komisaris AISA menampik itu. "Enggak ada hostile takeover. Kami tidak pernah menambah saham. Kalo hostile kan nambah saham terus," ujarnya kepada wartawan Kontan.co.id Herry Prasetyo.
Kita tunggu saja ending dari kasus AISA ini. Hasil RUPS AISA kelak yang akan membuktikan ada hostile takeover atau tidak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News