Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kinerja saham PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mengungguli saham emiten perkebunan lainnya. Sejak awal tahun atau year-to-date (ytd), harga saham emiten Grup Salim ini mencetak pertumbuhan 47% menjadi Rp 492 per saham.
Hal ini bisa terjadi berkat klasifikasi bisnis yang dilakukan SIMP. "Pencapaian ini karena komplitnya lini bisnis SIMP," kata analis MNC Securities Yosua Zisokhi pada KONTAN, Rabu (28/12).
SIMP menguasai hulu hingga hilir bisnis minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). SIMP memiliki lini bisnis hilir yang memproduksi margarin, minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya.
Lantaran produk turunan, SIMP mampu mengatur harga karena produk tadi sudah bernilai tambah. Berbeda dengan emiten lain yang hanya memproduksi CPO, bukan produk turunan yang bisa langsung dikonsumsi.
"Sehingga, kinerja keuangannya tergantung fluktuasi harga jual dan produksi CPO," tutur Yosua.
Posisi kedua saham emiten perkebunan dengan pertumbuhan harga terbaik diraih emiten Grup Salim lainnya, yakni PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP). Harga saham ini naik 37% (ytd) menuju Rp 1.710 per saham.
Kemudian di posisi ketiga ada saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Harga saham kedua emiten ini sama-sama mencetak kenaikan 14% (ytd), masing-masing jadi Rp 17.125 dan Rp 1.910 per saham. Harga saham CPO rata-rata membaik setelah harga komoditas ini membaik tahun ini.
Meski harga sudah naik tinggi, menurut Yosua, valuasi harga SIMP masih yang termurah. Price earning ratio (PER) SIMP sekitar 15,9 kali. PER tertinggi dicatat saham SGRO yang mencapai 43,8 kali, disusul LSIP dan SSMS masing-masing 27,6 kali dan 23,35 kali.
Sebagai perusahaan terafiliasi, harga saham LSIP juga ikut naik, terkerek sentimen kenaikan saham SIMP. Tapi, Analis NH Korindo Securities Joni Wintarja dalam risetnya menjelaskan, LSIP tertekan kondisi industri CPO selama dua tahun terakhir.
Otomatis, cashflow emiten ini terganggu, sehingga biaya untuk mendanai ekspansi, khususnya penambahan kapasitas pabrik, turut tersendat. Akibatnya, LSIP tahun depan akan sulit memenuhi kenaikan permintaan CPO, karena terbatasnya kapasitas produksi.
"Kami memprediksi pendapatan LSIP tahun depan hanya naik 7%," kata Joni.
Ia memprediksi, pendapatan LSIP tahun ini Rp 3,55 triliun. Tantangan lain CPO adalah La Nina. Efek buruk cuaca ini memang tak sehebat El Nino. Tapi La Nina menyebabkan curah hujan tinggi, sehingga jalan di perkebunan sawit sulit dilewati.
"Ini mengganggu logistik," tulis analis Daewoo Securities Andi Wibowo Gunawan dalam risetnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News