Reporter: Nadya Zahira | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja perusahaan menara telekomunikasi menunjukkan hasil positif pada kuartal pertama 2024. Ini terjadi seiring dengan ekspansi perusahaan menara telekomunikasi dan peningkatan permintaan serat optik yang cukup kuat. Ditambah lagi, pendapatan beberapa perusahaan menara telekomunikasi juga tumbuh kompak pada kuartal pertama 2024.
PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) mencatat pertumbuhan pendapatan tertinggi, di mana MTEL berhasil meraih pendapatan dari bisnis serat optik sebesar Rp 85,22 miliar sepanjang tiga bulan pertama tahun 2024. Pendapatan ini melonjak 148,8% secara tahunan (year on year/YoY).
Perkembangan pendapatan dari bisnis serat optik hingga saat ini membuat perusahaan dengan kode saham MTEL ini yakin bahwa lini usaha tersebut memiliki prospek yang sangat menjanjikan.
Seiring pertumbuhan aset menara dan serat optik, Mitratel mencatat kenaikan jumlah penyewa (tenant) dari 57.409 pada akhir Desember 2023 menjadi 57.808 pada akhir Maret 2024, atau bertambah 399 tenant dalam satu kuartal. Sedangkan kolokasi meningkat 1,4% dari 19.395 menjadi 19.673 pada kurun waktu yang sama. Hal ini membuat rasio penyewaan naik menjadi 1,52x.
Secara total, MTEL membukukan pendapatan Rp 2,20 triliun sepanjang tiga bulan pertama 2024, tumbuh 7,3% secara tahunan. Bisnis sewa menara menyumbang Rp1,83 triliun, meningkat 5,4%.
Baca Juga: Sejumlah Emiten Ini Siap Tebar Dividen di Juli, Cermati Strategi Agar Tetap Cuan
Selanjutnya, pendapatan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) juga tumbuh cukup baik. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2024, TBIG berhasil mengantongi pendapatan sebesar Rp 1,7 triliun. Pendapatan ini meningkat 5,37% secara tahunan atau Year on Year (YoY) dari Rp 1,61 triliun.
Segmen penyewaan menara telekomunikasi berkontribusi sebesar 91,93% dari total pendapatan TBIG. Namun, segmen ini terkoreksi 0,28% YoY menjadi Rp 1,56 triliun.
Meskipun demikian, pendapatan dari segmen serat optik melonjak signifikan sebesar 203,83% YoY menjadi Rp 136,65 miliar. Kemudian, pendapatan properti investasi mencapai Rp 875 miliar.
Di sisi lain, beban pokok pendapatan TBIG juga meningkat 7,83% YoY menjadi Rp 464,56 miliar per kuartal pertama 2024. Pada periode yang sama di 2023, beban pokok perusahaan infrastruktur ini hanya Rp 430,94 miliar.
Sejalan dengan itu, kinerja PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) juga tercatat baik pada kuartal pertama 2024, di mana pendapatan dan laba bersih TOWR meningkat masing-masing sebesar 6%.
Analis Sucor Sekuritas, Christofer Kojongian mengatakan bahwa bisnis non-menara juga terus menjadi mesin pertumbuhan utama bagi TOWR. Bisnis non-menara tumbuh 19% YoY menjadi Rp 965 miliar.
Dia mengungkapkan bahwa kenaikan bisnis non-menara didorong oleh lonjakan signifikan dalam bisnis FTTH menjadi Rp 118 miliar dari sebelumnya Rp 11 miliar. Sedangkan pertumbuhan bisnis FTTT mencapai 13%. Adapun kontribusi pendapatan non-menara kini sudah mencapai 31,7%.
"Kami memproyeksikan bisnis FTTH dan FTTT akan tumbuh kuat pada tahun 2024 ini, mengikuti target agresif perusahaan untuk mencapai 200.000 km fiber. Kami juga memproyeksikan pendapatan non-menara akan berkontribusi sebesar Rp 3,7 triliun atau naik 11% YoY," kata Christofer, dalam riset tanggal 6 Mei 2024.
Selanjutnya, Christofer juga melihat adanya potensi pertumbuhan yang kuat dari bisnis menara dengan 500 pesanan menara baru di sisa tahun ini. Hal ini akan menghasilkan pendapatan bisnis menara yang lebih kuat sebesar Rp 8,8 triliun atau naik 5% YoY pada tahun 2024.
Oleh karena itu, dia memproyeksikan laba bersih TOWR juga akan tumbuh kuat sebesar 12% dan 6% di tahun 2024-2025 menjadi masing-masing Rp 3,6 triliun dan Rp 3,9 triliun.
Namun dia menjelaskan bahwa ada beberapa risiko negatif yang mungkin menghampiri TOWR ke depannya, salah satunya adalah rendahnya pertumbuhan sewa dan tekanan pada tarif sewa.
Untuk diketahui, rasio penyewaan TOWR terus menurun menjadi 1,74x pada kuartal pertama 2024 dari 1,78x pada tahun 2023. Jumlah penyewa berkurang sebanyak 114 penyewa atau turun 0,2% QoQ menjadi 54.170 tenant.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas mengatakan secara umum, prospek kinerja perusahaan menara telekomunikasi pada tahun 2024 masih optimis. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain, perluasan menara, permintaan serat optik yang meningkat dan digitalisasi.
Kendati demikian, Sukarno menuturkan bahwa terdapat beberapa sentimen negatif yang perlu diwaspadai, seperti kenaikan suku bunga mengingat rasio utang tinggi. Menurutnya, kenaikan suku bunga Bank Indonesia dapat meningkatkan beban bunga perusahaan menara telekomunikasi, sehingga menekan laba bersih.
"Selain itu, persaingan antar perusahaan menara telekomunikasi juga semakin ketat, sehingga dapat menekan margin keuntungan," kata Sukarno kepada Kontan.co.id, Sabtu (29/6).
Kemudian, Sukarno mengatakan bahwa kebijakan pemerintah terkait regulasi telekomunikasi dan infrastruktur juga dapat memengaruhi kinerja perusahaan menara telekomunikasi.
"Secara keseluruhan, kinerja perusahaan menara telekomunikasi pada tahun 2024 diprediksi akan tetap positif, namun dengan pertumbuhan yang lebih moderat dibandingkan tahun 2023," imbuhnya.
Baca Juga: Kinerja Industri Telekomunikasi Positif, Cermati Rekomendasi Saham TBIG, MTEL & TOWR
Sementara itu, Analis Mirae Aset Sekuritas Indonesia Won Junghoon mencermati bahwa kinerja perusahaan menara telekomunikasi masih berpotensi untuk tumbuh positif di tahun ini. Namun, dia menilai kinerja perusahaan menara telekomunikasi ini masih akan dibayangi oleh potensi penurunan suku bunga, ketimbang pelemahan nilai tukar rupiah.
"Untuk prospek di sektor menara ini masih dipengaruhi oleh permintaan infrastruktur dalam negeri. Namun yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para perusahaan adalah membayar utang," kata Junghoon, kepada Kontan.co.id, Sabtu (29/6).
Memang jika dicermati, perusahaan menara telekomunikasi ini memiliki utang yang tidak sedikit. Maklum, untuk melakukan ekspansi berupa penambahan aset, perusahaan membutuhkan modal yang besar.
Selain itu, Junghoon menilai bahwa rencana masuknya Starlink ke Indonesia akan berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan menara telekomunikasi, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa Starlink mungkin akan menggantikan menara telekomunikasi dan serat optik.
Menurutnya, kehadiran Starlink di Indonesia dapat menimbulkan gangguan di wilayah padat penduduk dan sangat rentan terhadap kondisi cuaca.
"Namun, meskipun terdapat sentimen negatif di sektor menara telekomunikasi saat ini, kami memperkirakan perusahaan infrastruktur telekomunikasi akan terus tumbuh," imbuhnya.
Dengan demikian, Junghoon pun merekomendasikan beli untuk MTEL, dengan target harga yang baru ditetapkan sebesar Rp 790 per saham. Sedangkan Christofer merekomendasikan beli saham TOWR dengan target harga Rp 1.500 per saham.
Kemudian, Sukarno juga merekomendasikan beli saham TOWR, dengan target harga Rp 790 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News