Reporter: Widiyanto Purnomo | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Indonesia memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 7,5%. Sejatinya, kebijakan ini berefek positif bagi laju rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Tapi efek sebaliknya dirasakan emiten perbankan. Bertahannya BI rate di level 7,5% berpotensi menahan kucuran kredit perbankan pada tahun ini. Para analis menilai saat ini, mustahil ada ruang bagi BI rate untuk turun. Sebab, kini ada hal yang menjadi momok utama bagi pasar yaitu rencana kenaikan suku The Federal Reserve (The Fed) yang diperkirakan terjadi di akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Apalagi The Fed dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) selanjutnya tetap membahas rencana kenaikan suku bunga acuan. Kelak, beberapa data ekonomi AS yang dirilis akan menjadi pertimbangan The Fed.
Analis Ciptadana Securities, Syaiful Adrian, menebak BI tetap mempertahankan BI rate hingga The Fed mengerek suku bunganya. Apalagi, nilai tukar rupiah dalam zona merah dan bisa kian anjlok jika BI rate melandai. “Tak ada pilihan bagi BI selain mempertahankan bunga untuk menjaga rupiah,” kata dia.
Dus, penetapan BI rate bekal dibuntuti oleh perkembangan tingkat bunga deposito. Apabila mengerek bunga deposito di tengah melandainya BI rate, maka margin perbankan menjadi taruhannya. “Di tengah kondisi ekonomi saat ini orang akan lebih banyak menabung ke bank,” ujar Aditya Putra Perdana, analis Semesta Indovest.
Dia menambahkan, penyaluran kredit yang diprediksi akan seret sepanjang tahun ini juga menjadi masalah utama perbankan. Walhasil, Aditya memprediksi hal ini akan mengganggu likuiditas bank selama 2015 dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran, tiga bank BUMN sudah merevisi target pertumbuhan kredit tahun ini. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) memangkas target pertumbuhan kredit dari 15%-17%, menjadi maksimal 15%. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dari semula 15%-17% menjadi 14%. Kemudian PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) memangkas target pertumbuhan kredit menjadi 13% dari semula 15%.
Kredit macet
Analis Buana Capital, Suria Dharma menilai, membengkaknya rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) turut mengkhawatirkan kinerja perbankan tahun ini. BI mencatat, ada kenaikan NPL di industri perbankan sebesar 24 basis poin menjadi 2,4% per maret 2015, dari 2,16% per Desember 2014.
Salah satu emiten bank yang diperkirakan masih lancar menyalurkan kredit pada tahun ini adalah PT Bank Tabungan Negara (BBTN). BBTN tetap mempertahankan target pertumbuhan kredit sebesar 15% tahun ini.
Analis Danareksa Sekuritas, Eka Savitri menilai program 1 juta rumah yang dicanangkan pemerintah merupakan katalis positif bagi pertumbuhan kredit dan kinerja BBTN. BBTN mengklaim selama kuartal I 2015 sudah membiayai 22.811 unit rumah lewat skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Angka ini lebih besar dari periode sama tahun sebelumnya yaitu 15.850 unit.
Eka menerka kucuran kredit pemilikan rumah (KPR) BBTN tumbuh 18,7% pada tahun ini dan 18,0% di tahun depan. Sedangkan Dharma menilai kinerja PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) cukup positif pada tahun ini. Proyeksi itu didukung oleh NPL yang relatif kecil yaitu 0,7% atau di bawah 1%.
Selain itu, cost of fund BBCA terbilang rendah. “Walaupun diperkirakan pertumbuhan kredit menurun, kinerja BBCA cukup baik,” tambah dia. Aditya lebih menjagokan BBNI. Sebab net interest margin (NIM) BBNI cukup positif dan return on equity berkisar 15%-20%. BBNI juga mengadakan joint venture dengan Sumitomo Life yang dapat menopang pendapatan BBNI di luar bunga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News