Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dinilai masih prospektif hingga akhir tahun 2025. Penopang utamanya masih berasal dari harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) yang ada di atas MYR 4.000 per ton.
Corporate Secretary Astra Agro Lestari, Tingning Sukowignjo mengatakan, kenaikan harga CPO global meningkatkan average selling price (ASP) AALI.
Melansir Trading Economics, harga CPO ada di level MYR 4.347 per ton. Sementara, kata Tingning, harga rata-rata CPO di pasar Rotterdam senilai US$ 1.187 per ton per semester I 2025, naik dari US$ 1.084 per ton di akhir tahun 2024.
Alhasil, ASP AALI naik dari Rp 12.883 per kilogram di akhir 2024 menjadi Rp 14.268 per kilogram per semester I 2025.
"Kenaikan harga CPO ini juga dipengaruhi oleh stagnasi di produksi minyak kelapa sawit di Indonesia yang sudah terjadi dalam lima tahun terakhir ini,” ujarnya dalam Astra Media Day 2025, Selasa (23/9/2025).
Kata Tingning, berdasarkan data Oil World, konsumsi untuk CPO di pasar global sudah mencapai 80 juta ton sepanjang tahun. Sedangkan, produksi CPO itu hanya sekitar 79 juta ton saja di pada akhir tahun lalu.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan Emiten Sawit, Ada TAPG, AALI, LSIP, SGRO
Sementara, konsumsi global juga akan meningkat seiring dengan kondisi sosial masyarakat yang juga naik. Hal itu pun membuat AALI optimistis dengan permintaan CPO.
“Tetapi kami tetap ada kendala ataupun tantangan bagaimana kami harus mencoba meningkatkan produktivitas ini, sehingga kami bisa memenuhi suplai untuk dunia,” katanya.
Direktur PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe mengatakan, kinerja AALI masih prospektif selama harga CPO global masih tinggi, setidaknya di atas MYR 4.000 per ton.
Namun, AALI harus bisa menjaga produksinya di tahun ini. Hal itu terkait dengan aksi replanting tanaman sawit di tahun ini.
AALI sendiri menyerap belanja modal alias capital expenditure (capex) sebesar Rp 250 miliar per Juni 2025. Kata Tingning, prioritas capex digunakan untuk tanaman. Rinciannya, sebesar Rp 379 miliar dengan komposisi 65% untuk tanaman, 10% untuk pabrik dan pelabuhan, dan 25% untuk non-tanaman.
Namun, jika dibandingkan dengan target anggaran capex tahun 2025, serapan per Juni 2025 itu termasuk kecil. Sebab, berdasarkan catatan Kontan, AALI menganggarkan capex sebesar Rp 1,4 triliun - Rp 1,5 triliun di tahun 2025. Dalam rencananya, capex itu dianggarkan salah satunya untuk penanaman kembali alias replanting.
Serapan capex AALI yang belum sesuai target anggaran kemungkinan besar terkait dengan aksi replanting yang harus dilakukan dengan hati-hati agar tak mengganggu produksi. Selain itu, faktor cuaca juga bisa membuat anggaran tak dipakai seluruhnya.
“Misalnya, biaya untuk pengairan dan pupuk bisa turun ketika curah hujan tinggi,” ujar Kiswoyo kepada Kontan, Selasa (23/9/2025).
Baca Juga: Pendapatan Astra Agro Lestari (AALI) Naik 46% Jadi Rp 7,02 Triliun di Kuartal I-2025
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis Setyo Wibowo mencermati, prospek AALI di sisa tahun ini masih berpotensi tumbuh. Hal itu ditopang ASP yang relatif stabil, permintaan ekspor ke India dan China, serta momentum musiman seperti perayaan Diwali yang biasanya meningkatkan permintaan minyak nabati.
“Dari sisi domestik, kebijakan biodiesel juga menjadi katalis positif, di mana permintaan B40 berlanjut dan tahun depan mulai masuk ke B50,” ungkapnya kepada Kontan.
Terkait kebijakan B50, kata Kiswoyo, dampaknya memang akan menjaga harga CPO di level tinggi lantaran permintaan yang meningkat di tengah produksi yang terbilang terbatas.
Namun, kebijakan B50 yang permintaannya diserap domestik akan menurunkan porsi ekspor Indonesia. Artinya, penerimaan dari bea ekspor juga akan berkurang. Sehingga, nantinya malah membuat pemasukan pemerintah untuk anggaran replanting di dalam negeri berkurang.
Di sisi lain, ditekennya perjanjian IEU-CEPA dilihat belum akan meningkatkan kinerja emiten CPO secara signifikan, termasuk untuk AALI. “Eropa bukan tujuan utama ekspor CPO Indonesia. Pasar terbesar Indonesia adalah China dan India,” ungkapnya.
Rekomendasi Saham
Menurut Kiswoyo, valuasi saham AALI juga masih murah, karena price to book value (PBV) tercatat masih di bawah satu kali.
Melansir RTI, PBV AALI sebesar 0,67x dan price to earning ratio (PER) sebesar 10,90x. Saham AALI sendiri sudah naik 28,23% sejak awal tahun alias year to date (YTD).
“Rendahnya PBV AALI lantaran usia tanaman yang sudah cukup tua dan masih replanting. Ketika tanaman baru itu memasuki golden age lagi di atas 10 tahun, rasionya akan meningkat,” katanya.
Kiswoyo pun merekomendasikan buy on weakness untuk AALI dengan target harga Rp 9.000 per saham di akhir tahun 2025.
Azis melihat, PER AALI memang masih terhitung undervalue. Menurut hitungannya, PER AALI berada di 11,35x dan PER rata-rata lima tahun berada di 13,94x.
Rekomendasi beli pun disematkan Azis untuk AALI dengan target harga Rp 9.200 per saham.
Selanjutnya: Ada Posisi Dewan Komisioner LPS Bidang Program Penjaminan Polis, Ini Kata OJK
Menarik Dibaca: Ini Kiat Atasi Mata Minus Pada Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News