Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Porsi reksadana dalam Surat Berharga Negara (SBN) kian membesar. Mengutip Situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 10 Juni 2016, kepemilikan reksadana pada SBN domestik yang dapat diperdagangkan mencapai Rp 74,66 triliun.
Angka tersebut melambung Rp 13,06 triliun dari posisi akhir tahun 2015 yang tercatat Rp 61,6 triliun. Dus, porsi reksadana dalam SBN tersebut pun tumbuh dari semula 4,21% menjadi 4,54%.
Desmon Silitonga, Analis PT Capital Asset Management mengakui sepanjang paruh pertama tahun 2016, pelaku manajer investasi memang gesit dalam menempatkan dana di SBN. Faktor utamanya yakni ketentuan regulator yang mewajibkan industri keuangan non bank (IKNB) untuk memperbesar porsi SBN dalam investasi mereka.
Pada awal tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam POJK No.1/POJK.05/2016 menetapkan institusi seperti dana pensiun, asuransi, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial agar wajib memarkirkan dana minimal 10% - 30% pada instrumen SBN sebelum akhir tahun 2016.
Walhasil, lembaga IKNB pun berburu SBN sejak awal tahun ini. "Selain masuk ke SBN secara langsung, ada IKNB yang masuk dari reksadana. Mereka menjalin kerja sama dengan manajer investasi untuk masuk ke reksadana pendapatan tetap dengan aset dasar SBN," jelasnya.
Buktinya, mengacu data OJK per 20 Mei 2016, jumlah reksadana pendapatan tetap yang beredar di pasar mencapai 172 produk, bertambah 15 produk dari posisi akhir tahun lalu yang tercatat 157 produk. Dana kelolaan reksadana yang berbasis efek surat utang ini pun bertumbuh dari semula Rp 48,51 triliun menjadi Rp 57,74 triliun.
"Soalnya kalau manajer investasi ingin memaksimalkan imbal hasil (return), bisa masuk ke obligasi korporasi. Karena ada investor IKNB lah yang membuat industri reksadana pendapatan tetap meningkat cukup signifikan," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News