kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kepemilikan asing di saham dan SUN merosot, pasar surat utang akan membaik duluan


Rabu, 15 April 2020 / 07:00 WIB
Kepemilikan asing di saham dan SUN merosot, pasar surat utang akan membaik duluan


Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi merosot sejak awal tahun. Selain karena harga saham yang melemah, penurunan kepemilikan asing di pasar saham ini juga terjadi karena asing terus mencatat jual bersih.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per Selasa (14/4), investor asing mencatat net sell atau jual bersih Rp 12,75 triliun di pasar saham sejak awal tahun.

Sementara itu menurut data mingguan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kepemilikan asing pada saham dalam mata uang rupiah yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 3 April sebesar Rp 1.412,79 triliun. Angka kepemilikan asing pada saham ini merosot  27,33% dari posisi Rp 1.944,04 triliun per 27 Desember 2019 lalu.

Baca Juga: Ada wabah corona, kepemilikan investor asing atas efek di Indonesia berkurang

Jika dilihat dari porsi total efek saham dalam rupiah yang tercatat di KSEI, maka porsi asing turun tipis menjadi 50,84% pada 3 April 2020 dari 51,89% pada 27 Desember 2019. Sementara porsi investor lokal naik dari 48,11% menjadi 49,16%.

Head of Investment Research Infovesta Wawan Hendrayana menjelaskan, kepemilikan efek dalam rupiah oleh investor asing cenderung menurun sejak tahun 2019. Penurunan itu akibat dari sentimen perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. "Sejak adanya isu perang dagang investor asing beralih ke dolar AS," kata Wawan kepada Kontan.co.id, Selasa (14/4).

Pandemi virus corona semakin mendorong investor asing keluar dari pasar Indonesia. Hal ini tercermin saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh level 3.000 dari sebelumnya sekitar 6.000. Terjadi panic selling di pasar saham.

Sekadar informasi, total efek saham yang dicatat oleh OJK per 3 April, baik itu dimiliki oleh asing dan lokal mencapai Rp 2.778,68 triliun. Total efek ini hanya 52,02% dari total nilai kapitalisasi pasar saham BEI sebesar Rp 5.341,13 triliun pada tanggal yang sama.

Baca Juga: Dana kelolaan reksadana saham dan pasar uang jatuh paling dalam

Dari sisi persentase, yayasan asing mencatat penurunan kepemilikan terbesar, yakni 30,31% menjadi Rp 6 triliun, disusul dana pensiun sebesar 30,14% menjadi Rp 119,05 triliun. Tapi dari sisi nilai, penurunan terbesar adalah investor reksadana yang kepemilikan terhadap saham domestik berkurang Rp 138,72 miliar menjadi Rp 328,99 triliun dalam waktu tiga bulan lebih sedikit.

Penurunan besar juga terjadi pada investor institusi keuangan sebesar Rp 102 triliun menjadi Rp 245,12 triliun.

Tak cuma di pasar saham, investor asing pun mengurangi kepemilikan di pasar surat berharga negara (SBN). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing pada SBN yang dapat diperdagangkan, termasuk sukuk negara, mencapai Rp 918,32 triliun atau 32,18% dari total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.

Kepemilikan asing pada SBN ini turun 13,51% dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 1.061,86 triliun. Porsi asing terhadap total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan pun turun dari 38,57% di akhir 2019.

Baca Juga: Kekhawatiran penangangan corona masih menghantui investor, hasil lelang SUN turun

Menurut Wawan, instrumen obligasi akan terlebih dahulu membaik setelah pandemi Covid-19 ini selesai. Sementara efek saham akan terpengaruh lebih lambat karena emiten terdampak dari segi pendapatan dan laba. Kemampuan emiten untuk membiayai utang berpotensi terhambat sehingga ada kemungkinan default atau gagal bayar.

Adapun emiten yang bisnisnya berkaitan dengan impor akan sulit pulih lantaran penguatan dolar AS. Selain itu, emiten-emiten perbankan juga diprediksi menghadapi tantangan berat tahun ini karena ada potensi kenaikan kredit macet atau NPL.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×