kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kenaikan yield US Treasury tak diikuti SUN


Rabu, 19 September 2018 / 20:47 WIB
Kenaikan yield US Treasury tak diikuti SUN
ILUSTRASI. Pasar Modal


Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imbal hasil atau yield US Treasury dalam dua hari terakhir mulai beranjak naik dan menyentuh level 3%. Namun, di periode yang sama yield Surat Utang Negara (SUN) justru bergerak turun berlawanan dengan pergerakan yield US Treasury yang cenderung beranjak naik.

Mengutip Bloomberg, yield US Treasury tenor 10 tahun mulai naik signifikan sebesar 229 basis poin (bps) jadi menyentuh level 3,05% pada Selasa (18/9). Kenaikan tersebut berlanjut di Rabu (19/9) dimana yield US Treasury naik 24 bps jadi ke level 3,06%.

Sementara, di periode yang sama pada Selasa (18/9) yield SUN tenor 10 tahun tercatat turun 33 bps ke level 8,34%. Penurunan yield berlanjut di Rabu (19/9) sebesar 165 bps jadi di level 8,21%.

Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro mengatakan yield US Treasury yang naik menandakan harga obligasi AS sedang dalam tren koreksi. Penyebabnya, pertama, ekspektasi kenaikan inflasi AS yang tengah meningkat.

Kedua, pasar obligasi AS sedang mengalami tidak seimbangnya supply dan demand. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan karena berkurangnya pembelian dari kontributor utama surat utang AS, yaitu China di tengah tingginya pasokan obligasi AS.

"Saat ini perseturuan dagang As dan China diperkriakan akan membuat China mengurangi pembelian obligasi AS dan berpikir untuk melepas kepemilikan surat utang AS sebagai salah satu langkah balasan terhadap kenaikan tarif bea masuk dari AS," kata Nico, Rabu (19/8).

Secara teori pola pergerakan memang di saat yield US Treasury naik, maka yield SUN juga naik karena investor cenderung akan menarik dananya ke instrumen yang lebih tinggi imbal hasilnya.

Namun, Nico menjelaskan untuk periode kemarin hingga hari ini, hal yang perlu dicermati adalah pasar obligasi sedang berada dalam zona bullish.

"Mayoritas harga obligasi naik sehingga yield terkerek turun," kata Nico. Pergerakan yang berlawanan tersebut Nico perkirakan terjadi karena sentimen balasan dari China yang merespon tarif bea masuk terbaru dari AS.

Pelaku pasar meyakini pengenaan tarif terbaru AS dan dibalas langsung oleh China akan menjadi senjata makan tuan untuk pertumbuhan ekonomi AS. Muncul anggapan hal tersebut pada akhirnya bisa menekan greenback dan dampaknya bisa terlihat bahwa hari ini rupiah tengah berada dalam jalur penguatan meninggalkan Rp 14.900 per dollar AS.

"Nilai rupiah menguat, harga obligasi domestik naik, yield SUN jadi terdorong turun," kata Nico.

Dalam jangka pendek Nico memproyeksikan pergerakan yield SUN masih akan naik seiring masih bergejolaknya perang dagang AS dan China terkait tarif dagang dan volatilitas rupiah yang masih tinggi. Belum lagi, indikator ekonomi domestik juga masih diprediksi belum akan memuaskan. Salah satunya, data neraca perdagangan Indonesia.

Menurut Nico kenaikan yield SUN bisa ditahan jika pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan yang dapat memperbaiki beberapa indikator ekonomi yang menjadi acuan investor sehingga turut meningkatkan persepsi positif pelaku pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×