kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Kenaikan output global mengancam aluminium


Jumat, 10 Juni 2016 / 19:37 WIB
Kenaikan output global mengancam aluminium


Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Aluminium mendapat ancaman dari potensi kenaikan output global. Produsen aluminium China diprediksi akan kembali menggenjot produksi setelah harga pulih.

Mengutip Bloomberg, Kamis (9/6) harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tergerus 1,6% ke level US$ 1.577 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Sementara dalam sepekan terakhir, aluminium menguat 2,4%.

Goldman Sachs Group Inc. memprediksi harga aluminium akan melanjutkan pelemahan dalam tiga bulan ke depan lantaran ada resiko kenaikan produksi di China. Smelter aluminium di China kemungkinan akan kembali menggenjot produksi setelah terjadinya rally harga hingga ke level tertinggi sembilan bulan pada bulan pada April lalu. Stimulus ekonomi China telah mendorong permintaan aluminium.

Dalam laporan awal pekan ini Goldman menyatakan jika output aluminium akan naik 4% secara year on year pada semester kedua tahun ini setelah jatuh 1,7% di kuartal pertama. Hal ini dapat membawa harga aluminium turun ke level US$ 1.450 per metrik ton dalam tiga bulan ke depan, US$ 1.400 per metrik ton dalam enam bulan ke depan dan US$ 1.350 dalam satu tahun.

"Kami percaya bahwa margin yang solid akan mendorong produsen China untuk membuka lagi smelter," tulis analis Goldman Yubin Fu, seperti dikutip Bloomberg.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim mengatakan, permintaan aluminium di China belum membaik, terlihat dari data manufaktur bulan Mei yang masih stagnan. Bahkan angka permintaan dapat kembali melambat jika pemerintan tidak menambah stimulus ekonomi. Pasalnya, banyak proyek infrastruktur di Tiongkok yang akhirnya tertunda lantaran perlambatan ekonomi.

Data neraca perdagangan China tidak menjamin adanya perbaikan ekonomi di negeri Panda. Meski impor membaik, secara keseluruhan neraca perdagangan bulan Mei masih mengalami defisit sebesar US$ 50 miliar atau lebih buruk dari sebelumnya defisit US$ 45,6 miliar. "Pasar masih menanti stimulus dari pemerintah China," lanjut Ibrahim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×