Reporter: Surtan PH Siahaan | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Harga nikel mencatat reli sepanjang empat bulan. Di London Metal Exchange, 4 Februari 2013 lalu, harga nikel tercatat US$ 18.675 per ton lalu. Empat bulan lalu (11 November 2012), harga nikel masih sebesar US$ 16.780 per ton.
Ekonomi China yang mulai membaik menjadi angin segar bagi harga nikel. Maklum, China adalah konsumen terbesar. Harapan perbaikan prospek juga terasa para produsen nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Dalam risetnya, analis OSK Securities, Willi Sitorus menuliskan, harga saham INCO berpotensi menanjak seperti tiga tahun lalu. Pada tahun ini, Willi memperkirakan, produksi INCO naik 12,7% dari estimasi 2012 sebesar 71.000 ton menjadi 80.000 ton.
INCO berencana menggelontorkan dana US$ 210 miliar untuk menambah satu line smelter dan satu pabrik pemurnian nikel di Sulawesi. Jika skenario berjalan normal, target produksi 90.000 ton di 2015 bisa tercapai. Willi memperkirakan, harga nikel pada 2013 dan 2014 mencapai US$ 18.750 dan US$ 19.750.
Analis Kim Eng Securities, Lucky Ariesandi melihat kemungkinan rebound harga nikel kali ini berkelanjutan. Dalam risetnya, Lucky memperkirakan, harga nikel akan naik 4% menjadi US$ 8,3 per pound di 2013 dan US$ 8,8 per pound. Harga nikel juga diyakini akan melejit jika kebijakan pemerintah melarang ekspor biji nikel berlaku di 2014. Itu akan membuat jumlah biji nikel di pasar global berkurang.
Kinerja tumbuh
Analis Bahana Securities, Leonardo Henry Gavaza, memprediksi, pendapatan dan laba bersih INCO akan meningkat dua kali lipat di tahun ini. Namun, ini bukan karena kenaikan harga komoditas.
Kenaikan lebih disebabkan produksi nikel INCO kembali normal pasca tungku pembakaran atau furnace milik perusahaan kembali beroperasi. Sebelumnya, furnace milik INCO memang sempat meledak sehingga membuat produksi INCO berkurang.
Sementara, proyeksi harga nikel, menurut Henry, tidak akan bergerak jauh dari harga sebelumnya. "Kuartal dua harga akan turun," duga dia.
Analis Danareksa Securities, Ananita Mieke pun menilai, kenaikan harga nikel lebih karena siklus historis. Biasanya, harga naik menjelang tahun baru China dan turun setelahnya.
Meski data ekonomi menunjukkan ada perbaikan ekonomi di China, tapi analis melihat, belum ada pertumbuhan permintaan signifikan di industri metal. Sebab, pasar tujuan ekspor China seperti di Amerika Serikat (AS) dan Eropa masih terpuruk.
Toh, hitungan Willi, laba INCO bisa terangkat. Dia menyebutkan, setiap kenaikan harga nikel US$ 1.000 per ton, bisa meningkatkan perolehan laba hingga 20%. Proyeksi Willi, pendapatan INCO di 2013 naik 20,4% menjadi US$ 1,1 miliar. Sementara, laba bersih INCO naik 141% menjadi US$ 222 juta.
Namun, menurut Henry, INCO diperdagangkan dengan PER tinggi yaitu 18 kali dari PER industri 12 kali. Karena itu, ia merekomendasikan jual saham INCO dengan target harga Rp 2.000 per saham.
Sementara, Lucky merekomendasikan beli dengan target Rp 2.925. Adapun, Ananita menyarankan hold dengan target harga Rp 2.625. Senin (11/2), saham INCO turun 2,61% di Rp 2.800.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News