kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.191.000   16.000   0,74%
  • USD/IDR 16.742   -34,00   -0,20%
  • IDX 8.099   58,67   0,73%
  • KOMPAS100 1.123   8,34   0,75%
  • LQ45 803   6,91   0,87%
  • ISSI 282   2,37   0,85%
  • IDX30 422   3,62   0,87%
  • IDXHIDIV20 480   0,21   0,04%
  • IDX80 123   1,39   1,14%
  • IDXV30 134   0,51   0,38%
  • IDXQ30 133   0,20   0,15%

Keluarnya Dana Asing Angkat Yield Obligasi Pemerintah, Begini Prospek Pasar SBN


Minggu, 28 September 2025 / 21:34 WIB
Keluarnya Dana Asing Angkat Yield Obligasi Pemerintah, Begini Prospek Pasar SBN
ILUSTRASI. Yield Surat Berharga Negara (SBN) acuan berada dalam tren penurunan sepanjang semester pertama 2025. Yield SBN seri FR0103 tenor 10 tahun sempat menyentuh angka tertinggi tahun ini di 7,29% pada pertengahan Januari 2025. Angka ini terus menurun hingga menjadi 6,64% di akhir Juni 2025.


Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aliran modal asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN), diiringi kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada transaksi 22–25 September 2025, dana asing keluar sebesar Rp 2,71 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 2,16 triliun hengkang dari pasar SBN.

Adapun sepanjang tahun ini, hingga 25 September 2025, asing tercatat beli neto sebesar Rp 36,25 triliun di pasar SBN. Sedangkan, jual neto tercatat sebesar Rp 51,34 triliun di pasar saham dan Rp 128,85 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Tekanan di pasar SBN tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun. Pada Jumat (26/9), yield SBN 10 tahun berada di level 6,43%, naik 0,002% secara harian dan 0,089% dalam sebulan terakhir.

Adapun per 28 September 2025, risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun juga naik ke level 84,03 basis poin. Sebelumnya, risiko investasi sebesar 69,59 pada 19 September 2025.

Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede mencermati, arus keluar asing yang berkelanjutan di obligasi pemerintah menjadi pemicu kenaikan yield obligasi.

Ia melihat, tekanan pada pasar SBN dipicu oleh dua faktor eksternal. Pertama, penguatan data Amerika Serikat (AS) yang mengangkat imbal hasil US Treasury (UST) dan dolar AS. Kedua, sentimen risiko global yang lebih hati-hati pasca pengumuman tarif baru AS.

Baca Juga: Dipengaruhi Sentimen Pemangkasan Suku Bunga, Begini Proyeksi Imbal Hasil SBN

Seperti diketahui, revisi PDB AS kuartal kedua yang naik menjadi 3,8% tahunan, disertai data konsumsi pribadi yang masih kuat.

“Hal ini membuat pasar memangkas harapan pemangkasan suku bunga The Fed yang agresif, sehingga dolar AS dan UST menguat dan menekan aset berisiko, termasuk SBN,” terang Josua kepada Kontan, Jumat (26/9).

Selain itu, pemberlakuan tarif baru AS pada farmasi bermerek, truk berat, dan furnitur menambah tekanan risk-off di Asia dan memperlemah mata uang kawasan. Hal ini mendorong CDS Indonesia dan kurva SBN merangkak naik.

Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman mencermati faktor pemicu kenaikan yield dari dalam negeri, yakni pelemahan rupiah ke kisaran Rp 16.700 per dolar AS.

“Sedangkan, arus keluar asing dipicu meningkatnya persepsi risiko fiskal Indonesia,” jelasnya kepada Kontan, Jumat (26/9/2025).

Hal ini, menurut Rizal, terjadi setelah RAPBN 2026 menetapkan defisit melebar menjadi Rp 689 triliun atau 2,68% terhadap PDB.

Pasalnya, dengan persepsi fiskal yang lebih ekspansif dan meningkatnya pasokan obligasi, investor asing cenderung melepas kepemilikan obligasi jangka panjang, sejalan dengan tren flight to quality menuju aset dolar.

Baca Juga: BI Sudah Borong SBN Rp 217,10 Triliun Hingga 16 September 2025

Josua menambahkan, pasar kredit dan pelemahan rupiah mencerminkan kegelisahan investor. “BI sendiri menegaskan intervensi yang lebih tegas untuk menstabilkan rupiah. Hal ini cerminan tekanan portofolio,” katanya.

Dus, ia menilai investor perlu mencermati persepsi terhadap kebijakan domestik ke depan. Sebab, ketidakpastian fiskal dan langkah pelonggaran moneter lanjutan dapat menambah premi risiko dan menekan rupiah, sehingga memaksa kenaikan kompensasi imbal hasil.

Selain itu, investor juga dapat memantau risiko terkait suplai-permintaan SBN dan dinamika likuiditas valas perbankan. “Termasuk, kebijakan pengetatan atau perubahan pada produk simpanan valas bank BUMN yang sedang dievaluasi pemerintah,” terang Josua.

Sedangkan menurut Rizal, risiko yang perlu diwaspadai termasuk suku bunga AS yang bertahan tinggi. Kedua, risiko fiskal dan defisit APBN yang melebar dan potensi overhang pembiayaan.

Namun, Rizal memandang masih ada peluang aliran dana asing kembali masuk ke SBN. Kata dia, kuncinya tetap pada kredibilitas fiskal. “Jika pemerintah mampu menyeimbangkan ekspansi belanja dengan disiplin defisit, pasar akan lebih percaya,” imbuh Rizal.

Baca Juga: Rupiah Tertekan, Intervensi Perlu Diperkuat dan Suku Bunga SBN Dinaikkan

Sebaliknya, jika pasar melihat potensi monetisasi berlebihan melalui BI, yield bisa terdorong lebih tinggi.

Sependapat, menurut Josua, asal ada sinyal kebijakan domestik yang lebih jelas, investor asing masih bisa melirik pasar SBN Tanah Air. “Khususnya, terkait kepastian arah fiskal dan komunikasi BI yang konsisten mengenai stabilitas rupiah,” jelasnya.

Hingga akhir tahun, Josua melihat prospek pasar SBN masih berpotensi konstruktif walau volatil. Mengingat, BI aktif menstabilkan rupiah melalui intervensi di pasar valas dan DNDF. Hal ini, menurut Josua, dapat membantu menahan transmisi tekanan global ke SBN.

Dengan begitu, ia memproyeksikan imbal hasil SBN 10 tahun dapat berada di kisaran 6,35%–6,65% hingga akhir tahun.

Sementara proyeksi Rizal, hingga akhir tahun, imbal hasil SBN 10 tahun bisa berada di rentang 6,4%–6,6%, dengan adanya risiko naik ke 6,7%.

Sebab, Rizal melihat prospek pasar SBN di akhir tahun masih tertekan. “Tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah, penguatan dolar, serta yield UST yang masih tinggi akan menahan perbaikan pasar,” terangnya.

Bagaimanapun, Rizal memandang sisi positif tetap ada. Pasar SBN masih ditopang inflasi domestik relatif terkendali dan cadangan devisa yang masih cukup untuk menopang stabilitas.

Baca Juga: Kemenkeu Tegaskan Dana Rp 200 Triliun untuk Perbankan Tak Boleh Dipakai Beli SBN

Selanjutnya: Interpol Sebut Eks CEO Investree Adrian Gunadi Bolak-balik Qatar-Indonesia Sejak 2023

Menarik Dibaca: IHSG Diperkirakan Menguat, Rekomendasi 5 Saham Pilihan MNC Sekuritas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×