Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) sedang menuju titik paling buruk dalam menjalankan bisnisnya di sektor perkebunan. Mazars, Lembaga audit independen yang ditunjuk UNSP, menyatakan, laporan keuangan emiten milik Grup Bakrie itu memuat beberapa kondisi negatif yang mengindikasikan "adanya suatu ketidakpastian material".
Kondisi negatif itu misalnya UNSP mengalami kerugian berulang kali dari kegiatan usahanya yang mengakibatkan defisit sebesar Rp 1,68 triliun dalam laporan keuangan per 31 Desember 2013. Tak hanya itu, liabilitas jangka pendek UNSP juga telah lebih tinggi Rp 2,9 triliun dibandingkan jumlah aset lancar.
Per 31 Desember 2013, liabilitas jangka pendek UNSP memang sudah mencapai Rp 6,36 triliun, sedangkan aset lancar perusahaan perkebunan itu tercatat Rp 3,46 triliun.
"Kondisi tersebut [...], mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Kelompok Usaha (UNSP) untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," tulis laporan Mazars yang ditandatangani Registrasi Akuntan Publik, Handoko Tomo.
Jika dicermati, performa keuangan UNSP sepanjang 2013 memang kian buruk. Rugi bersih UNSP di tahun lalu mencapai Rp 2,76 triliun, melompat 159,34% dibandingkan posisi 2012 yang Rp 1,07 triliun.
Lantas apa yang dilakukan UNSP untuk mengatasi kelangsungan usahanya? Berdasarkan Catatan 42 dalam laporan keuangan 31 Desember 2013, UNSP memiliki tiga langkah, pertama, menjalin kemitraan strategis, divestasi sebagian atau seluruhnya dan restrukturisasi pinjaman unit usaha hilir (downstream).
Kedua, menata ulang pinjaman unit usaha downstream. Ketiga, UNSP akan kembali fokus kepada produktivitas, pengendalian, biaya dan manajemen kebun. Tiga strategi itu, terutama divestasi, memang sudah pernah dilakukan UNSP demi memperbaiki kinerja keuangan.
Sayangnya, Iqbal Zainuddin, Direktur Utama UNSP, menolak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait tiga strategi itu. Hingga berita ini diturunkan, Iqbal tak kunjung membalas pertanyaan yang dilayangkan KONTAN.
Pada akhir September 2013, UNSP sudah menjual PT Guntung Idamanusa senilai US$ 41,29 juta kepada PT Berkat Sawit Sejati (BSS) dan PT Mitra Sistra. Divestasi ini dilakukan anak usaha UNSP lainnya, yaitu PT Grahadura Leidongprima (GLP) dan PT Sumbertama Nusapertiwi (SNP).
Pasalnya, kepemilikan saham Guntung memang dikuasai dua entitas itu. Rinciannya, GLP menguasai 38.119 lembar atau setara 99,97% saham Guntung, sementara 10 lembar saham sisanya dikuasai SNP.
Aksi ini merupakan kelanjutan dari divestasi anak usaha yang dilakukan UNSP pada tahun sebelumnya. Pada 18 Desember 2012, UNSP menandatangani perjanjian jual beli aset 6 (enam) anak usaha yang bernaung dalam sub-grup Agri International Resources Pte Ltd (AIRPL).
Keenam anak usaha itu adalah PT Jambil Agrowijaya, PT Eramitra Agrolestari, PT Trimitra Sumberperkasa, PT Multrada Multi Maju, PT Padang Bolak Jaya dan PT Perjapin Prima.
Reza Priyambada, Analis Trust Securities menilai, UNSP perlu menetapkan arah dari strategi divestasi yang terus dilakukan. Di satu sisi, strategi ini memang akan mendatangkan dana segar yang bisa digunakan untuk membayar utang.
Namun, jika divestasi dilakukan juga di aset-aset inti justru akan membahayakan UNSP. "Basis pendapatan UNSP akan hilang dan malah akan semakin membahayakan kelangsungan usaha seperti yang sudah dicatatkan auditor," terang Reza.
Dengan kondisi seperti itu, Reza menyarankan investor untuk menghindari saham UNSP terlebih dahulu. Pada Kamis (3/4), harga UNSP ditutup tidak bergerak dari level Rp 53 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News