Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Senin kemarin (19/1), seorang nasabah DBS Vickers Securities membuka kekecewaannya terhadap sekuritas asal Singapura itu di hadapan para wartawan. Nasabah bernama Dedy Darmawan Jamin itu telah melaporkan DBS dengan tuduhan melakukan transaksi saham miliknya tanpa izin.
Dedy termasuk nasabah kakap DBS dengan investasi awal sekitar Rp 100 miliar sejak Januari 2007. Namun, hingga 7 Januari 2009, dana itu menguap, tinggal Rp 10 miliar hingga Rp 11 miliar.
Seperti KONTAN tulis kemarin, Dedy mengaku terjerat transaksi margin tanpa ia sadari. Ceritanya, pada Januari 2008, trader DBS Vickers bernama Johnson membawa blangko Perjanjian Penyelesaian Transaksi Efek (PPTE).
Namun, Dedy mengaku tidak tahu-menahu bahwa isi PPTE itu merupakan fasilitas untuk rekening margin. Ia bilang, Johnson pun sama sekali tidak menjelaskan soal pembukaan rekening margin itu.
Selain itu, menurut Dedy, ia hanya menandatangani satu PPTE. Namun, DBS ternyata menerbitkan tiga PPTE lain atas nama Dedy. "Masalahnya, klien saya tidak pernah merasa menandatangani tiga PPTE itu," kata Agustinus Dawarja, kuasa hukum Dedy.
Dedy juga menyatakan DBS telah menjual portofolionya yang berisi PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), tanpa izinnya. Ia menemukan DBS berulang kali menjual sahamnya yang terdapat pada rekening efek margin, lalu DBS membelinya lagi di rekening efek reguler tanpa perintah Dedy atau tanpa memberitahunya.
Ketika bertanya kepada Johnson, Dedy menerima jawaban bahwa pihak Singapura menyuruh Johnson dan DBS menjual saham Dedy.
Untuk menutup margin
Namun, menurut Indra Savitri, kuasa hukum DBS Vickers, penjualan itu sendiri adalah penjualan untuk memenuhi anjloknya rasio margin Dedy alias forced sell.
Dengan kata lain, itu merupakan transaksi tutup sendiri dari rekening margin ke rekening regulernya, dan sebaliknya. Namun, Agustinus mengatakan, kliennya menanggung kerugian biaya transaksi juga. DBS masih menjual saham Dedy pada Oktober 2008 hingga November 2008.
Padahal, pada 25 September 2008, Dedy menerima surat bahwa DBS telah mengakhiri rekening marginnya. Soal ini, Indra menyatakan, Dedy memang masih punya kewajiban akibat transaksi margin itu di rekeningnya, bahkan hingga saat ini.
Namun, Dedy tetap kecewa lantaran ia merasa DBS telah melakukan banyak pelanggaran. Ia lantas menemui manajemen DBS Vickers Indonesia tiga kali pada Desember 2008. "Mereka bilang, semua sudah sesuai dengan peraturan dan SOP. Peraturan yang mana?" ujar Dedy.
Lantaran tak puas dengan jawaban itu, Dedy mengambil langkah selanjutnya. Ia melaporkan DBS ke Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan pada tanggal 8 Januari lalu.
Ia pun akan melaporkan kejadian ini ke polisi. Indra sendiri menjawab DBS melayani Dedy sesuai prosedur. "Kami siap menjelaskan kepada Bapepam," tandas Indra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News