Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroder Indonesia) memandang pasar obligasi akan tertekan kuatnya dolar AS pada tahun 2025. Di tengah berbagai tantangan, obligasi Indonesia masih lebih baik daripada negara peers.
‘’Kami meyakini bahwa imbal hasil obligasi akan tetap tinggi dan the Fed mungkin akan lebih sulit untuk menurunkan suku bunga sesuai dengan dot plot-nya, terutama jika kebijakan Trump disahkan menjadi undang-undang,’’ ungkap riset Schroder Indonesia Outlook 2025, yang dibagikan Kamis (12/12).
Schroder Indonesia menyebutkan bahwa meski sudah sampai keputusan pemangkasan suku bunga the Fed di akhir tahun ini, namun sentimen positif tersebut hanya bertahan sebentar. Sebab, hasil pemilu AS menobatkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47.
Baca Juga: Investasi Penyertaan Langsung Sejumlah Dana Pensiun Catatkan Kinerja Positif
Kebijakan Trump diperkirakan akan berdampak pada inflasi yang lebih tinggi, pro-pertumbuhan di AS, dan penguatan dolar yang tidak menguntungkan bagi pemegang US Treasury serta pasar negara berkembang.
Schroder menyebutkan, perlu diwaspadai risiko kemungkinan nilai tukar rupiah akan tetap tertekan di tahun depan yang bisa mendorong aksi jual obligasi. Keunggulan USD dan kekuatan saham AS memang sangat luar biasa, meskipun ada tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja mereka sejak pertengahan tahun 2024.
Dari sudut pandang investor asing, valuasi obligasi tetap mahal selama imbal hasil US Treasury tetap tinggi. Ini juga bertepatan dengan Presiden terpilih Trump dan kemenangan Partai Republik di kongres, yang kemungkinan akan membuat USD lebih kuat dan investor asing mungkin menunda investasi di mata uang pasar negara berkembang termasuk obligasinya.
Baca Juga: Bank Sentral Brasil Menaikkan Suku Bunga Tebih Tinggi Daripada Prediksi
Di tengah tantangan dari ekonomi AS tersebut, tren tingkat inflasi tahunan domestik menurun ke kisaran 1,7%-1,8%, membuat imbal hasil riil Indonesia menjadi 5,36%. Ini menjadikan obligasi Indonesia menempati peringkat pertama dibandingkan dengan peers BBB, yaitu India dan Filipina.
Terkait adanya pemerintahan baru Prabowo-Gibran di tahun depan, Schroder Indonesia masih optimistis bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan akan positif bagi pasar obligasi. Hal itu mempertimbangkan terpilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang dianggap ramah bagi pasar obligasi mengingat rekam jejaknya yang konservatif.
‘’Kami meyakini bahwa pengelolaan fiskal dalam jangka pendek kemungkinan akan tetap dapat terkendali, meski kami tetap memperhatikan tentang dampak jangka menengah dari kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan defisit dan penerbitan utang yang lebih tinggi,’’ sebut Schroder.
Sosok Sri Mulyani dianggap bisa meredam kekhawatiran investor asing yang berhati-hati karena program prioritas seperti makan bergizi, tiga juta perumahan dan kenaikan gaji pegawai negeri berpotensi mengubah trajektori fiskal dalam jangka menengah.
Baca Juga: Penerbitan Surat Utang Korporasi Diperkirakan Capai Rp 155 Triliun pada Tahun 2025
Kekhawatiran tersebut ditambah dengan penurunan pendapatan pemerintah tahun ini akibat penerimaan pajak yang lebih rendah dan pendapatan non-pajak yang lebih rendah sebagai akibat dari penurunan harga komoditas.
Di sisi lain, penerbitan utang berpotensi lebih tinggi di tahun depan sejalan dengan adanya obligasi jatuh tempo sebesar Rp 721,1 triliun dan Rp 741,9 triliun, masing-masing pada tahun 2025 dan 2026.