Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Reksadana terproteksi makin hari makin dijauhi para investor. Hal ini bisa tercermin dari jumlah dana kelolaannya yang terus menyusut setiap bulannya.
Asal tahu saja, pada akhir tahun 2020 jumlah dana kelolaan reksadana terproteksi sebesar Rp 145,27 triliun. Namun, pada akhir Mei hanya tersisa Rp 98,62 triliun. Artinya, dalam lima bulan terakhir penyusutan dana kelolaannya sudah mencapai 32,11%. Banyak kalangan menilai, prospek reksadana terproteksi ke depan semakin suram.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menjelaskan prospek reksadana terproteksi sebenarnya tergantung pada segmennya. Jika reksadana terproteksi untuk retail, Rudiyanto meyakini prospek ke depannya masih akan menarik. Namun, untuk segmen institusi, nasib reksadana terproteksi ada di ujung tanduk.
Rudiyanto menyebut hal ini ada kaitannya dengan pajak yang berlaku. Saat ini, produk reksadana dikenai pajak 10%, sementara pajak obligasi sebesar 15%. Namun, belakangan ini berkembang wacana bahwa pemerintah akan mengurangi besaran pajak obligasi dari 15% menjadi 10%.
Baca Juga: Asabri butuh suntikan dana Rp 15,16 triliun
“Jika benefit pajak ini hilang di mana tarif pajak turun ke 10%, maka akan menyebabkan penurunan minat di segmen korporasi. Dengan besaran pajak yang sama, reksadana terproteksi pun tak lagi menarik,” ujar Rudiyanto kepada Kontan.co.id, Jumat (11/6).
Senada, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga menyebut saat ini memang periode yang sulit bagi reksadana terproteksi. Banyak investor reksadana terproteksi yang sedang mengambil posisi wait and see. Hal ini pun membuat banyak manajer investasi tidak mengganti produk reksadana terproteksi yang sudah jatuh tempo.
Baca Juga: Saat pandemi, pengguna layanan digital banking kian bertambah