Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pergerakan rupiah hari ini tampak kurang bertenaga. Tapi, secara umum rupiah terus berada dalam tren penguatan terhadap dolar AS belakangan ini.
Ada beberapa faktor yang menjadi fundamental penguatan rupiah. Penguatan searah dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ini dipicu oleh meredanya sentimen negatif terkait inflasi, cadangan devisa dan neraca berjalan.
Ada beberapa kebijakan regulator yang juga menjadi dasar penguatan rupiah, salah satunya adalah kesepakatan terbaru dengan Korea Selatan melalui bilateral currency swap agreement (BCSA).
Pada kesempatan sebelumnya, analis pasar uang Bank Mandiri, Reny Eka Putri bilang, kesepakatan tersebut memungkinkan penggunaan rupiah dan won untuk transaksi antar kedua belah negara.
"Jadi, jika ada transaksi antara Indonesia dan Korea Selatan tidak perlu menggunakan dolar AS lagi, dan hal ini menjadi sentimen positif bagi rupiah," kata Reny.
Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka sepakat jika perbaikan fundamental ekonomi menjadi pendorong rupiah menguat. Tapi, faktor makro ekonomi bukanlah faktor utama yang mendukung penguatan rupiah.
Lihat saja, hanya ada sedikit perbaikan dalam tingkat inflasi, cadangan devisa dan neraca berjalan, tapi penguatan rupiah terjadi begitu cepat. Bahkan, rupiah hanya membutuhkan waktu sebulan untuk menuju kisaran Rp 11.300 per dolar AS dari sebelumnya Rp 12.500 per dolar AS.
"Penguatan adalah hal yang wajar, namun penguatan yang terlalu cepat bukanlah tipikal yang fundamental melainkan lebih ke spekulasi dan ekspektasi," ujar Lukman kepada KONTAN.
Spekulasi dan ekspektasi itu terkait dengan keyakinan investor dalam menghadapi pemilu legislatif bulan April, yang mana figur seperti Jokowi semakin intens menjadi headline media publik. Ekspektasi majunya Jokowi untuk menjadi RI 1 inilah yang juga mendorong spekulasi investor di pasar uang.
Sebenarnya, bukan hanya Jokowi yang menjadi dasar ekspektasi pelaku pasar. Meski masih kalah pamor, tapi ARB dan Prabowo punya keunggulan sosok yang tak dimiliki pesaingnya. Kandidat ini dinilai pelaku pasar sebagai sosok decision maker.
"Jadi, kami melihat bahwa investor lebih yakin pemilu kali ini bakal sukses dengan banyaknya figur capres yang lebih bagus dibanding pemilu-pemilu sebelumnya," tandas Lukman.
Namun,perlu dicatat, ada faktor X yang menjadi pemicu penguatan rupiah. Sudah merupakan rahasia umum apabila menjelang pemilu, pemerintah yang sedang berkuasa bertransformasi menjadi "the invisible hand” pada perbaikan dibeberapa indikator seperti mata uang dan pasar modal. "Bisa dibilang ini window dressing versi pemerintah," imbuh Lukman.
Cara seperti ini dilakukan untuk menaikkan kans partai yang berkuasa dalam menghadapi pemilu. Cara seperti ini dilakukan dengan menjadikan indikator makro berupa mata uang dan pasar modal sebagai senjata untuk menghindari atau bahkan melawan pesaing-pesaing politik lainnya.
Lukman menambahkan, penguatan rupiah masih memungkinkan, namun apabila hal ini dibiarkan juga bukanlah hal yang baik dan Bank Indonesia (BI) nantinya akan mengintervensi dengan menurunkan suku bunga atau membeli dolar di pasar.
"Rp 11.500 merupakan titik resistansi dan condong menguat meski sulit untuk menembus di bawah Rp 11.000 dalam waktu dekat ini," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News