Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang negara-negara Asia masih belum akan stabil pekan depan. Pasalnya, para investor kini masih mencermati arah pergerakan pasar di tengah ketegangan dagang dan ketidakpastian ekonomi global.
Pada penutupan pasar Jumat (4/4) lalu, mayoritas valuta Asia kompak tunduk terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, sebagian di antaranya juga menunjukkan penguatan tipis.
Menurut data Trading Economics, Minggu (6/4), pasangan USD/SGD (dolar Singapura) kembali menguat 1,3% secara harian dan 0,17% secara mingguan. Senada, USD/JPY (Yen) juga menguat 0,62% secara harian meski melemah tipis 0,03% secara mingguan.
Namun di sisi lain, pasangan USD/MYR (Ringgit) justru melemah 0,11% secara harian dan 0,08% secara mingguan. Pun USD/HKD (dolar Hongkong) melemah tipis 0,04% secara harian dan 0,01% secara mingguan.
Baca Juga: Dolar Singapura Mampu Bertahan Di Tengah Tekanan Mata Uang Asia
Menurut Analis Doo Financial Futures Lukman Leong, pergerakan valuta-valuta Asia memang masih acak.
“Mata uang-mata uang regional bergerak secara acak, investor masih kehilangan panduan. Penguatan serta perlemahan mata uang-mata uang tersebut belum bisa merefleksi fundamental,” sebut Lukman kepada Kontan.co.id, Minggu (6/4).
Meski nampaknya melemah, Lukman menilai SGD masih akan berada di posisi yang nyaman. Selain karena dampak kebijakan tarif AS terhadap Singapura tak begitu besar, SGD sebagai aset safe haven regional berpotensi masih menarik bagi investor.
Sementara itu, penguatan MYR dinilai hanya bersifat sementara lantaran dampak kebijakan tarif AS juga cukup terasa bagi Malaysia. Untuk diketahui, Malaysia dikenakan tarif impor 24% dalam kebijakan terbaru Presiden AS Donald Trump.
Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang juga mencermati sejumlah sentimen pendukung MYR di situasi saat ini. “Kombinasi kenaikan harga CPO global, kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan mandat biodiesel ke B20 sehingga meningkatkan potensi ekspor CPO, dan aliran modal asing yang masih relatif kuat mendorong MYR,” katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (6/4).
Untuk HKD, Hosianna menyebut peningkatannya terdorong oleh sistem moneter yang terpisah dari China. Alhasil, HKD turut dipertimbangkan sebagai alternatif safe haven regional karena Hongkong bukan bagian utama dari rantai pasokan manufaktur global.
Sementara menurut Lukman, nilai HKD masih akan bergantung pada pergerakan USD. “Karena selama ini masih dipatok terhadap dolar AS,” kata Lukman.
USD sendiri masih bergerak fluktuatif di tengah ketidakpastian ekonomi global yang meningkat. Pasca pelemahannya akibat kebijakan tarif Trump, USD terdorong naik tipis oleh rilis data non-farm payroll (NFP) AS pada Jumat (4/4) lalu.
Baca Juga: Perang Dagang Mulai, Mata Uang Asia Menguat, Tapi Semu, Ini Sebabnya
Dalam data tersebut, pertumbuhan lapangan kerja tercatat meningkat hingga 228.000. Capaian ini mendorong The Fed untuk menahan rencananya memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Alhasil, indeks USD kembali meningkat dan turut mengerek naik HKD.
Namun secara keseluruhan, penguatan USD justru akan menekan valuta-valuta emerging seperti rupiah. Lukman menyebut, investor masih akan mencermati hasil negosiasi kebijakan tarif sejumlah negara, di samping memantau aksi balasan dari negara-negara terdampak kebijakan tarif AS. Hosianna menyampaikan hal serupa.
"Volatilitas pasar masih bisa meningkat jika ketegangan geopolitik atau ketidakpastian kebijakan global membesar," kata Hosianna.
Baca Juga: Mata Uang Asia Cenderung Menguat Terhadap Dolar AS Dalam Sepekan, Ini Pendorongnya
Selanjutnya: Imbas Tarif Impor Trump, Industri TPT Dunia Bisa Oversupply & Banjiri Pasar Domestik
Menarik Dibaca: Anda Enggak Mau Boros Terus? Coba 7 Cara Melacak Pengeluaran Bulanan Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News