Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten sektor pertambangan, khususnya tambang batubara dan nikel, ngegas sepanjang tahun ini. Hingga kuartal ketiga 2022, emiten-emiten di sektor ini membukukan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih hingga ratusan persen.
Namun, kinerja sektor tambang diproyeksi akan melandai tahun depan, seiring dengan melandainya harga komoditas terkait. Batubara misalnya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Juan Oktavianus Harahap memproyeksi, harga komoditas energi ini kemungkinan bakal berada di bawah US$ 300 per ton tahun depan.
Sebenarnya, Juan menilai, melonjaknya harga batubara saat ini merupakan anomali dari adanya adanya sejumlah sentimen seperti memanasnya tensi geopolitik, yang membuat supply komoditas energy lain seperti minyak dan gas (migas) terganggu. Kondisi ini membuat penggunaan batubara digalakkan kembali dan mendorong kenaikan harganya.
Namun ke depan, Juan melihat pasokan batubara akan kembali naik. Negara produsen utama batubara seperti Indonesia diproyeksi akan menaikkan tingkat produksi tahun depan. Musim hujan di Australia juga mereda, yang membuat produksi dari negeri kanguru ini akan naik sehingga membuat pasokan batubara akan kembali normal.
Baca Juga: Menerka Prospek Saham Barang Konsumsi di Tahun Depan, Simak Saham yang Prospektif?
Pun demikian dengan nikel, yang diproyeksi tidak akan semoncer tahun ini. Dalam 12 bulan ke depan, Juan menilai terdapat sejumlah sentimen yang mewarnai harga komoditas ini. Salah satunya yakni potensi perlambatan ekonomi yang berdampak kepada permintaan komoditas.
Asal tahu, nikel banyak digunakan sebagai bahan pembuatan baja anti karat (stainless steel). Jika ekonomi melambat, permintaan bahan baku untuk industri manufaktur juga akan menurun.
Kebijakan lockdown di China dan kebijakan kenaikan suku bunga juga akan mempengaruhi harga komoditas logam ini. Dari sisi suplai, industri nikel Indonesia diperkirakan bakal terus tumbuh ke depan mengingat pemerintah menargetkan 30 smelter nikel beroperasi pada 2024.
Kapasitas produksi nikel diproyeksi akan cenderung naik selama dua sampai tiga tahun ke depan, dan akan menjadi salah satu pemberat harga nikel seiring melimpahnya pasokan.
Kinerja emiten tambang pun akan melandai ke depan.
“Harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) batubara dan nikel tidak akan sebesar tahun ini. Khusus batubara, periode kuartal ketiga menjadi puncak dari earnings karena dari segi harga dan volume penjualan kuartal ketiga menjadi periode paling bagus. Sementara itu, kuartal keempat 2022 tidak akan tinggi dari kuartal ketiga,” terang Juan, Rabu (30/11).
Selain nikel dan batubara, harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga cukup moncer di awal 2022. Namun tahun depan, Juan memproyeksi harga komoditas perkebunan ini akan stabil, seiring stabilnya sisi pasokan dan permintaan.
Hanya saja, Juan melihat produksi sawit emiten besar seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) akan cenderung konservatif. Sebab, kedua perusahaan ini memiliki tanaman sawit yang tua.
Baca Juga: OJK Perpanjang Restrukturisasi Kredit, Begini Efeknya Ke Emiten Perbankan
Hanya saja, dalam jangka panjang, nikel dinilai masih punya prospek yang cerah, seiring transisi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik alias electric vehicle (EV).
Mirae Asset Sekuritas menurunkan rating sektor pertambangan logam Indonesia menjadi netral. Juan menjadikan saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sebagai pilihan utama (top picks). Rekomendasi untuk ANTM adalah buy dengan target harga Rp 2.300.
Rekomendasi ini menimbang pendapatan ANTM yang terdiversifikasi, potensi tambahan pendapatan dari proyek smelter Halmahera; dan eksposur ke proyek Indonesia Battery Corporation (IBC).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News