Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Bukit Asam Tbk (PTBA) diperkirakan masih akan tertekan di tahun ini. Normalisasi harga batubara yang masih berlanjut menjadi penyebabnya.
Equity Analyst OCBC Sekuritas Devi Harjoto memaparkan, berlanjutnya normalisasi harga batubara tercermin pada kinerja PTBA di kuartal I-2024. PTBA membukukan penurunan laba bersih 32% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 791 miliar, lebih rendah dibandingkan proyeksinya dan konsensus.
Adapun penurunan laba perseroan akibat penurunan volume penjualan dan rata-rata harga jual (ASP). PTBA mencatat penurunan ASP turun 9,9% secara kuartalan (QoQ) menjadi Rp 958,4 ribu per MT di tengah penurunan harga patokan Newcastle dan ICI-3.
"Lalu, biaya tunai yang lebih tinggi yang meningkat 15% QoQ lantaran adanya biaya jasa kereta api akibat perlakuan akuntansi," tulisnya dalam riset, Kamis (16/5).
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) Catatkan Kenaikan Ekspor Batubara pada kuartal I 2024
Ditambah, pendapatan PTBA juga terkoreksi 5,5% YoY menjadi Rp 9,41 triliun. Hal tersebut sejalan dengan penurunan volume penjualan sebesar 3% QoQ menjadi 9,7 juta ton lantaran penurunan volume produksi sebesar 27% QoQ akibat curah hujan yang lebih tinggi.
Namun begitu, PTBA berhasil meningkatkan proporsi penjualan dari non-PLN untuk penjualan domestik. "Ini setelah dimulainya PLTU 8 Sumsel yang menguasai 43% dari penjualan domestik non-PLN di kuartal I 2024," paparnya.
Devi menyebutkan, tahun ini diperkirakan permintaan batubara akan lebih tinggi. Hanya saja, pihaknya memperkirakan harga batubara Newcastle akan tetap stabil di US$ 120 - US$ 125 per MT sepanjang tahun 2024.
Dengan demikian, pendapatan PTBA diperkirakan menjadi Rp 37,72 triliun atau terkoreksi 1,97% YoY. Adapun laba bersih diproyeksikan turun 20,32% YoY menjadi Rp 4,86 triliun.
Sementara itu, dijelaskan bahwa tingginya permintaan didorong gelombang panas berkepanjangan di India sehingga memacu permintaan pendingin ruangan. Selain itu, pemilihan umum di India juga dapat mempengaruhi pemerintahnya untuk mengambil keuntungan untuk mengisi persediaan batubara selama harganya lebih rendah.
Di China, permintaan diperkirakan akan tetap kuat karena pertumbuhan elektrifikasi untuk kendaraan listrik dan manufaktur. Selain itu, harga batubara untuk batubara domestik di China relatif tinggi dibandingkan dengan impor, sehingga mendorongnya untuk melakukan lebih banyak impor.
Menurut Devi, konsumsi batubara yang lebih tinggi di India dan China akan mengimbangi penurunan konsumsi Eropa dan Amerika Serikat (AS). "Di sisi lain, peningkatan produksi batubara di Indonesia diharapkan dapat memenuhi permintaan dari kedua negara tersebut karena kami mengantisipasi produksi yang lebih tinggi dari yang ditargetkan tahun ini, yaitu sebesar 710 juta ton," jelasnya.
OCBC Sekuritas pun mempertahankan rating hold PTBA dengan target harga Rp 3.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News