Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga komoditas energi bakal lebih tinggi seiring potensi serangan balasan dari Iran terhadap Israel. Faktor musim dingin di akhir tahun juga dapat mengangkat harga komoditas energi seperti gas alam dan batubara.
Analis Komoditas Lukman Leong mengatakan, harga energi pada umumnya didukung oleh kekhawatiran eskalasi di timur tengah. Namun, perkembangan di timur tengah lebih berdampak pada harga minyak mentah karena produksi maupun jalur distribusi yang relatif besar di wilayah tersebut.
Kabar terkini dari konflik timur tengah yaitu potensi serangan balasan Iran terhadap Israel, buntut pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di ibu kota Teheran pada 31 Juli lalu. Pasar mengantisipasi adanya serangan balasan, menyusul laporan bahwa Iran telah menolak seruan barat untuk menahan diri dari pembalasan.
Baca Juga: Proyeksi Harga Komoditas Energi : Minyak Lesu, Gas Alam dan Batubara Bakal Melaju
“Apabila situasi di timteng memanas dan mengganggu produksi maupun jalur pengapalan, maka minyak WTI bisa kembali di atas US$ 80 per barel hingga US$ 90 per barel di akhir 2024,” ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (14/8).
Lukman mencermati, dari sisi permintaan dan pasokan minyak dunia belum ada perubahan, survei dari Morgan Stanley terakhir menunjukkan potensi surplus pasokan minyak mentah dunia tahun depan.
Sementara itu, Organisasi Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) pada hari Senin (12/8) memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan untuk tahun 2024. OPEC memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak dunia untuk tahun 2024 direvisi turun sedikit sebesar 135.000 barel per hari karena ekonomi China yang masih lemah.
Menurut Lukman, perlu ditunggu lebih lanjut respons kebijakan produksi OPEC+ dan juga situasi konflik di timur tengah. Apabila dilihat dari sisi ekonominya saja, maka ekonomi global yang lesu dapat membawa harga minyak ke US$60 per barel.
OPEC telah melakukan serangkaian pemangkasan produksi yang dalam sejak akhir tahun 2022. Anggota OPEC dan beberapa sekutunya yang tergabung dalam OPEC+ saat ini memangkas produksi dengan total 5,86 juta barel per hari (bph), atau sekitar 5,7% dari permintaan global.
Lukman mencermati, terkait sentimen pemangkasan suku bunga acuan saat ini tidak terlalu menjadi fokus investor. Sebagian investor malah menganggap apabila pemangkasan suku bunga the Fed lebih agresif itu mensinyalkan kekhawatiran resesi yang artinya bisa mengurangi permintaan minyak mentah.
Gas alam sendiri memang terlihat naik harganya, namun nominalnya tidak begitu besar. Harga komoditas energi ini didukung kekhawatiran ramalan cuaca yang akan lebih panas di belahan bumi utara.
Kendati demikian, Lukman mengatakan, kenaikan harga gas alam saat ini hanya musiman (seasonal). Di mana pasokan gas masih tinggi, inventaris dan cadangan di Eropa juga masih hampir penuh.
Harga gas alam diperkirakan masih akan susah kembali di atas US$3 per mmbtu, idealnya US$2.2 - US$2.5 per mmbtu. Namun harga akan ditentukan lagi kabar terbaru ramalan cuaca di akhir tahun.
Baca Juga: Harga Minyak Naik, Imbas Kekhawatiran Perang Timur Tengah dan Penurunan Stok AS
“Apabila musim dingin akan lebih dingin, harga gas bs kembali di atas US$3 per mmbtu,” sebutnya.
Sedangkan, Lukman mengamati, harga batubara sudah mulai reli sejak bulan Juli, di saat harga minyak mentah terkoreksi cukup dalam. Pasir hitam didukung oleh laporan yang menunjukkan kenaikan pada impor dari China dan penurunan ekspor Rusia.
Selain itu, investor juga dikhawatirkan oleh peringatan potensi La Lina yang pernah menutup produksi di Australia dan melejitkan harga beberapa tahun lalu. Apabila La Nina kembali menyebabkan banjir besar di Australia dan menutup tambang-tambang, harga batubara bisa meroket melewati US$ 200 per barel di akhir 2024.
“Dan apabila tidak terjadi, maka US$150 per barel akan menjadi level tertinggi batubara akhir tahun ini,” pungkas Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News