Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah bahkan hingga akhir tahun ini. Ekspektasi pelaku pasar mengenai pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang berlangsung lebih cepat menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Optimisme pelaku pasar pada pertumbuhan ekonomi AS membuat yield US Treasury tenor 10 tahun masuk dalam tren naik. Faktor ini semakin membuat dolar AS menguat. Sebaliknya, nilai tukar rupiah berpotensi cenderung melemah.
Sekedar informasi, hingga Rabu (24/3), yield US Treasury berada di level 1,62%. Sementara, secara year to date (ytd), rupiah tercatat melemah 2,67% setelah ditutup di level Rp 14.425 per dolar AS hingga kemarin.
Analis Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan memproyeksikan, untuk jangka menengah rupiah masih akan tertekan. Penyebabnya tentu karena dolar AS masih berpotensi menguat didukung optimisme pelaku pasar pada pertumbuhan ekonomi AS dan prospek positif dari imbal hasil obligasi AS.
Meski begitu, Ahmad melihat rupiah bisa saja menguat. Sentimen positif yang bisa mendukung rupiah menguat adalah perkembangan distribusi vaksin yang lancar.
Sementara, pelaku pasar saat ini masih menanti data ekonomi AS yang dianggap sangat mempengaruhi pergerakan nasib rupiah ke depan. Dalam sepekan ke depan AS akan merilis data non-farm payroll (NFP). Ahmad mengatakan data tersebut akan dijadikan acuan dalam melihat kemajuan pemulihan ekonomi AS.
Bila data NFP menguat, maka dolar AS bisa semakin perkasa. Namun, berlaku sebaliknya, bila rilis data tersebut lebih buruk maka bisa memicu aksi jual dolar AS.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede optimistis yield US Treasury berbalik menurun. Sinyal penurunan yield US Treasury tertangkap dari pernyataan Gubernur Federal Reserve Jerome Powell yang hingga saat ini mengatakan kenaikan inflasi di AS hanya sementara, atawa belum tentu berkelanjutan hingga 2022 dan selanjutnya.
"Tentunya pergerakan imbal hasil obligasi AS itu dinamis, ada kalanya akan kembali ke level normal dan kenaikan menjadi terbatas," kata Josua.
Memang saat ini, pelaku pasar optimistis inflasi AS akan naik cepat di tahun ini, tetapi belum tentu di tahun selanjutnya akan konsisten tumbuh. Proyeksi kondisi tersebut juga FOMC katakan bahwa ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS di tahun ini capai 6% tetapi cenderung menurun di tahun selanjutnya.
Baca Juga: Bergantung pada data ekonomi AS, rupiah diprediksi cenderung melemah
Alhasil, kenaikan yield US Treasury juga akan sementara. Apalagi, The Fed masih belum mengatakan akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Jika di semester II-2021 level yield US Treasury stabil dan tidak naik lagi, Josua optimistis dana asing akan kembali masuk ke emerging market.
Di satu sisi, rupiah masih memiliki fundamental yang kuat. Kemarin, lembaga pemeringkat Fitch Ratings saja masih mempertahankan peringkat (rating) utang Indonesia pada posisi BBB, dengan tetap mempertahankan outlook yang stabil.
"Harusnya rupiah cenderung menguat tetapi memang larinya dana asing ke AS tidak bisa dihindarkan akibat yield US Treasury yang masih dalam tren naik," kata Josua.
Sementara, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk terus menggenjot pertumbuhan ekonomi. "Penyebab investor asing sell off adalah ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini lebih lambat dari AS," kata Josua.
Namun, Josua mengatakan jika Indonesia berhasil bawa pertumbuhan ekonomi dan defisit fiskal bisa berada di bawah 3% maka, investor akan kembali ke pasar Indonesia. Bagaimana pun, risiko yang akan menimpa ekonomi global setelah pandemi usai adalah utang negara itu sendiri.
Di sisi lain, utang Indonesia paling rendah diantara negara tetangga apalagi negara maju. "Beban utang Indonesia rendah dan pertumbuhan ekonomi bisa lebih cepat akan mendukung rupiah kembali stabil," kata Josua.
Hingga akhir tahun ini, dia memproyeksikan rupiah berada di rentang Rp 14.000 per dolar AS-Rp 14.300 per dolar AS. Sementara, Ahmad memproyeksikan rupiah dalam jangka menengah berpotensi berada di Rp 14.300 per dolar AS-Rp 14.550 per dolar AS.
Selanjutnya: Bursa Efek Indonesia (BEI) targetkan 54 emiten anyar pada tahun ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News