Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan pada industri reksadana masih berlangsung. Banyaknya pilihan instrumen investasi menjadi salah satu penekannya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana terus mengalami penurunan sejak tahun 2021. Pada akhir tahun itu, NAB reksadana tercatat sebesar Rp 580,14 triliun.
Pada 2022, NAB ambles 12,40% menjadi Rp 508,18 triliun dan di 2023 turun 0,63% menjadi Rp 504,94 triliun. Pada tahun 2024, penurunan NAB reksadana masih berlanjut menjadi Rp 485,77 triliun per Mei 2024, sehingga mengakumulasi penurunan sebesar 3,72% sejak awal tahun.
Dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) juga turun. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pada tahun 2021 total AUM industri sebesar Rp 826,70 triliun. Pada tahun 2022, nilai AUM turun 3,56% secara tahunan (YoY) menjadi 797,31 triliun, dan pada tahun 2023 kembali terkoreksi 0,44% YoY menjadi Rp 793,78 triliun.
Sepanjang tahun berjalan ini KSEI mencatat penurunan 0,64% per Mei 2024 menjadi Rp 788,69 triliun. Namun, pada bulan Mei terjadi kenaikan AUM sebesar 1,77% dari bulan sebelumnya.
Baca Juga: Bidik Milenial dan Gen Z, Insight IM Segera Luncurkan Aplikasi Reksadana
Perkembangan NAB dan AUM industri tidak sejalan dengan jumlah investor. KSEI mencatat jumlah investor reksadana justru bertumbuh secara konsisten, yang mana di 2021 hanya 6,84 juta dan per Mei 2024 sebanyak 12,17 juta.
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menyebutkan perkembangan yang tidak sejalan karena investor kecil yang masuk. Ia menilai hal tersebut kemungkinan karena didorong oleh APERD berbasis online lantaran dana dari ritel umumnya kecil.
"Selain itu, turunnya animo ke reksadana juga disebabkan return yang dihasilkan jeblok dan ada banyak alternatif seperti SUN, Sukuk Tabungan, kripto, emas, dan investasi saham di luar negeri," terangnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/7).
Ia menyebutkan penurunan return reksadana terjadi sejak enam hingga tujuh tahun terakhir. Salah satu penyebabnya karena kurangnya fund inflow.
"Jadi dana sedikit diperebutkan banyak pilihan emiten, sehingga tidak kuat mengangkat harga saham jika kurang dana investasi," jelasnya.
Sementara itu untuk reksadana pendapatan tetap, pasar uang, dan campuran, lebih dikarenakan suku bunga tinggi. Kata Parto, spread dengan yield US bond tetap masih dianggap kurang menarik oleh investorĀ asing.
Berdasarkan data Infovesta, setidaknya dalam dua tahun terakhir kinerja reksadana kurang gemerlap. Misalnya, sepanjang tahun 2022 reksadana saham menghasilkan return -0,85%, pendapatan tetap 2,01%, pasar uang 2,71%, dan campuran 0,33%. Return tersebut masih kalah dengan laju inflasi sebesar 5,51%.
Sementara di tahun 2023, reksadana pasar uang dan pendapatan mampu mengalahkan laju inflasi, tetapi keunggulannya tidak terlalu jauh. Sementara kinerja reksadana saham dan campuran masih kalah.
Meski begitu, Parto meyakini prospek reksadana masih cukup baik. Namun, ia menyarankan untuk jangka panjang. "Sejalan dengan prospek ekonomi jangka panjang yang membaik," imbuhnya.
Baca Juga: Pilih-Pilih Produk Investasi di Perbankan Saat Bunga Tinggi, Mana Paling Menarik?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News