Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTa. Agar bisa berekspansi, perusahaan harus memiliki dana cukup. Emiten kerap menempuh beragam cara untuk mendapatkan dana segar. Lirik saja, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), yang menggelar private placement alias penambahan modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD).
Dalam pernyataan resmi yang dirilis beberapa hari lalu, anak usaha Grup Djarum berencana menerbitkan sebanyak-banyaknya 1,02 miliar saham baru, atau setara 10% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh TOWR. Harga penawaran saham baru ini berkisar Rp 3.702 per saham.
Dari hajatan ini, perusahaan mengincar dana sekitar Rp 3,86 triliun. Perseroan akan menyuntikkan dana tersebut untuk kebutuhan modal kerja anak usahanya, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo). Sebagian besar akan digunakan untuk menambah menara telekomunikasi, baik dengan membangun menara baru maupun membeli menara. Selain itu, akan dikucurkan untuk investasi pada perusahaan penunjang telekomunikasi.
Hingga akhir tahun ini TOWR menargetkan penambahan 1.500-2.000 menara. Tahun lalu, perusahaan mengoleksi 9.746 menara. Dengan tambahan tersebut, TOWR memiliki 11.246-11.756 menara. "Pembangunan menara sangat bergantung demand operator," kata Presiden Direktur Sarana Menara Nusantara Adam Gifari (Harian KONTAN, 9 Mei 2014)
Para analis menilai positif aksi korporasi TOWR untuk membiayai ekspansi usaha. Pasalnya, pasar dan kebutuhan menara telekomunikasi dinilai masih relatif tinggi. Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan, semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, mendorong semakin banyaknya kebutuhan menara, terutama menara jaringan 3G. Apalagi, banyak operator telekomunikasi memilih menyewa ketimbang memiliki menara sendiri. "Operator tak mau repot dengan biaya perawatan dan tenaga kerja. Peluang industri menara masih cukup besar," ujar William.
Margin tinggi
Tak hanya itu, umumnya perusahaan menara telekomunikasi memiliki margin atau earning before interests, taxes, depreciations and amotizasions (EBITDA) tinggi dari hasil penyewaan menara, yaitu di atas 80%.
Pada akhir 2013, TOWR mencatatkan EBITDA sebesar Rp 2,65 triliun, tumbuh 40,4% year on year (yoy). Adapun, pendapatan mencapai Rp 3,2 triliun, naik 41,1% yoy. Ini tertopang harga rental bulanan yang stabil, yaitu Rp 14,5 juta per unit menara.
Sementara, kinerja pendapatan TOWR sepanjang kuartal I-2014 naik 26,79% dibanding periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp 720,21 miliar.
Analis Indo Premier Securities William Simadiputra menilai, kondisi keuangan TOWR masih mendukung untuk berekspansi. Ini tampak dari rasio utang bersih terhadap EBITDA akhir 2013 sebesar 2,8 kali, turun dibanding tahun sebelumnya, 3,3 kali. "Selama TOWR mampu menaikkan EBITDA, baik dari tingkat okupansi tenan maupun harga rental, perusahaan bisa mendapat kepercayaan pinjaman lagi dari bank," jelasnya.
Maka, Simadiputra memproyeksikan, pendapatan perusahaan tahun ini bisa mencapai Rp 3,53 triliun, naik 10,3% ketimbang tahun lalu. Meskipun kinerja perusahaan cukup positif, Ariyanto Kurniawan, analis Mandiri Sekuritas melihat, likuiditas saham TOWR masih belum selicin saham PT Tower Bersama Infrastructure, Tbk (TBIG).
Menurutnya, harga saham TOWR dibandingkan emiten sejenis lain sudah cukup tinggi. Price earning ratio (PER) TOWR sebesar 32,98 kali, jauh lebih tinggi dibandingkan PER TBIG sebesar 25,01 kali, dan PT Solusi Tunas Pratama , Tbk (SUPR) yang 20,45 kali.
William Surya merekomendasikan posisi buy dengan target Rp 4.500 per saham. Kemarin, harga TOWR naik 2,5% menjadi Rp 3.895 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News