Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Emiten sektor farmasi menorehkan kinerja yang cukup baik di semester I-2014. PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) misalnya, membukukan penjualan Rp 8,38 triliun atau tumbuh 12,9% yoy. Sedangkan laba bersihnya Rp 988,88 miliar tumbuh 7% yoy. PT Kimia Farma Tbk (KAEF) pun mengalami lonjakan laba bersih sebesar 65% yoy menjadi Rp 70,57 miliar di semester I-2014. Kenaikan laba bersih KAEF didorong oleh pendapatan yang tumbuh 9,13% yoy menjadi Rp 1,899 triliun.
Ishfan Helmi, Analis Sucorinvest Central Gani mengatakan, pertumbuhan sektor farmasi didukung oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang menganggap obat menjadi bagian dari gaya hidup. “Kesadaran akan kesehatan semakin tinggi,” paparnya. Apalagi, pemerintah juga menaruh perhatian yang besar terhadap masalah kesehatan dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Analis BNI Securities, Ankga Adiwirasta menyatakan program JKN dengan anggaran yang mencapai Rp 19 triliun menjadi peluang untuk sektor farmasi, terutama bagi KAEF yang memang fokus pada obat generik. Sementara KLBF lebih mengandalkan pada diversifikasi produk yang tidak hanya obat-obatan, tetapi juga makanan, vitamin, hingga supplement kesehatan.
Kiswoyo Adi Joe, managing partner Investa Saran Mandiri mengatakan, masing - masing emiten farmasi mempunyai strategi untuk meningkatkan kinerjanya. KLBF mempunyai anggaran riset sehingga mampu membuat obat sendiri dan tidak perlu membeli lisensi untuk produk obat tertentu. Produk KLBF di luar obat juga sudah banyak.
Sementara KAEF mempunyai jaringan apotek yang luas untuk memasarkan produk obatnya. Kiswoyo memperkirakan pertumbuhan sektor farmasi akan tetap stabil jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat juga stabil. Pasalnya, produk obat yang beredar di dalam negeri masih menggunakan bahan baku impor.
Menurut Ankga, efek nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap beban pokok penjualan alias cost of goods sold (COGS) farmasi. Sementara saat ini, nilai tukar rupiah masih berada di kisaran Rp 11.500 per dollar AS. Ankga khawatir pelemahan nilai tukar rupiah akan berlanjut, mengingat tahun depan Bank Central Amerika (The Fed) berencana menaikkan tingkat suku bunga.
Meski demikian, analis menilai kinerja sektor farmasi akan lebih baik di semester II-2014. Ankga mengatakan, Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri biasanya membuat membuat penjualan farmasi naik 30%. “Ada kebutuhan obat yang meningkat, seperti obat mag, vitamin atau produk kesehatan lain selama ramadhan,” ujarnya.
Selain itu, perkiraan adanya badai El Nino yang membuat cuaca panas juga bisa meningkatkan resiko penyakit sehingga kebutuhan obat pun meningkat.
Ishfan berharap rupiah akan menguat di semester II-2014 sehingga dapat memacu pertumbuhan yang lebih baik bagi sektor farmasi.Sebagai negara yang termasuk dalam kelas middle income, masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsi produk seperti suplemen dan susu. “Ini yang menjadi salah satu spot yang bisa digarap oleh emiten farmasi,” paparnya.
Kiswoyo menilai, banyaknya rumah sakit yang belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat menjadi potensi bagi penjualan obat non generik. Kiswoyo melihat tidak semua obat rumah sakit dengan program BPJS dicover pemerintah. Oleh karena itu, pasien akhirnya mencari obat di luar rumah sakit.
Sementara Ankga dan Ishfan yakin pemerintah yang baru akan membuat program kesehatan semakin baik. Ishfan mencontohkan, program Kartu Indonesia Sehat yang digagas salah satu calon presiden. Jika hal tersebut terlaksana, maka akan menjadi keuntungan tersendiri bagi sektor farmasi.
Ishfan memperkirakan pendapatan sektor farmasi tahun ini masih akan tumbuh 15% - 20%. Ia merekomendasikan buy untuk KLBF.
Ankga menduga pendapatan sektor farmasi tahun ini bisa naik sekitar 13%. Sementara Kiswoyo memprediksi pendapatan sektor farmasi akan tumbuh 5% - 10%.
Ankga merekomendasikan buy untuk KLBF dan KAEF. Kiswoyo merekomendasikan buy untuk KLBF dan PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News