Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) berhasil memperoleh pinjaman sebesar € 40 juta atau setara dengan Rp 664 miliar dari pemegang saham mayoritas, yakni Holdervin BV. Rencananya, pinjaman yang diperoleh dari perusahaan asal Belanda itu akan digunakan untuk keperluan operasional perusahaan dan modal kerja tahun 2019.
Sebagai informasi, pada transaksi afiliasi ini Holcim Indonesia akan membayar pinjaman dengan ketentuan 100% pinjaman akan dibayarkan saat jatuh tempo dua tahun setelah penarikan. Bunga yang dikenakan pada pinjaman ini sebesar 3,37% di atas Euribor (Euro Interbank Offered Rate).
Lalu apakah kucuran pinjaman tersebut bisa dibilang wajar? Seperti yang diketahui saat ini Holcim Indonesia masih menyelesaikan proses akusisi yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang diperkirakan akan rampung pada akhir Januari 2019.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto menyebut pinjaman yang dikucurkan kepada Holcim Indonesia oleh induk usahanya merupakan transaksi yang wajar. “Karena akan diakuisisi maka seharusnya setelah ini pinjaman akan masuk atau menjadi tanggungjawab Semen Indonesia,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id, Rabu (2/1).
Masuknya kucuran dana dari Holdervin kepada Holcim Indonesia tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap rasio leverage keuangan Semen Indonesia pasca akuisisi. Pasalnya, Semen Indonesia saat ini membiayai transaksi akuisisi Holcim Indonesia sebesar US$ 917 juta atau setara dengan Rp 14 triliun menggunakan utang sindikasi dari perbankan.
Asal tahu saja, Semen Indonesia dan anak usahanya PT Semen Indonesia Industri Bangunan telah meneken perjanjian fasilitas pinjaman senilai US$ 1,28 juta atau sekitar Rp 19 triliun dari BNP Paribas, Deutsche Bank AG, Maybank Kim Eng Securites PTE Ltd, MUFG Bank Ltd dan Standard Chartered Bank.
Per 30 September 2019, rasio debt to EBITDA Holcim Indonesia sebesar 8,6 kali. Sementara rasio proforma debt to EBITDA Semen Indonesia pasca akuisisi Holcim diperkirakan akan melebihi lima kali.
Masih terkait dengan pinjaman, pada bulan November 2018 lalu, lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menempatkan peringkat AA+ kepada Semen Indonesia pada credit watch dengan implikasi negatif. Menurut Pefindo, penempatan peringkat itu mencerminkan pandangan terhadap rasio utang SMGR yang akan lebih agresif lantaran rencana akuisisi mayoritas saham SMCB.
Walaupun muncul kekhawatiran akibat kemungkinan bertambahnya tanggungan Semen Indonesia pasca akuisisi Holcim Indonesia, William menilai prospek Semen Indonesia masih cerah di tahun 2019.
“Utang besar itu bisa jadi positif tergantung penggunaannya, tapi dari segi bisnisnya Holcim Indonesia sudah diakuisisi oleh Semen Gresik maka pangsa pasarnya akan semakin meluas. Pangsa pasar yang meluas itu bisa menopang pertumbuhan kinerja keuangannya,” kata dia.
Sebagai informasi, akuisisi yang dilakukan oleh Semen Indonesia terhadap produsen semen terbesar ketiga di Indonesia ini semakin memperkuat posisi Semen Indonesia sebagai produsen semen di tanah air.
Selain itu, akuisisi ini juga membuat perusahaan semen yang dahulu bernama Semen Gresik ini menjadi perusahaan semen terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, William secara khusus merekomendasikan investor untuk membeli saham SMGR dengan target harga Rp 13.000 per saham. Pada perdagangan di awal tahun 2019 ini saham SMGR melemah tipis 0,22% ke harga Rp 11.475 per saham.
Sedangkan untuk saham SMCB, William menyarankan investor untuk hold atau menunggu sampai proses akuisisi selesai sepenuhnya pada akhir Januari 2019. “Karena kelihatannya saham SMCB akan mengalami sideways,” kata dia.
Saham SMCB pada perdagangan perdana tahun 2019 ditutup tanpa ada pergerakan di harga Rp 1.885 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News