Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Kilau emas kian memudar saja, terlebih lagi di semester I tahun ini. Meski sempat mengalami beberapa kali kenaikan, tetapi secara umum pergerakan harga emas masih cenderung turun.
Jika menengok ke belakang, sepanjang 2011 lalu, harga emas sempat naik 34%. Nah, tahun itu pula, emas berhasil menorehkan rekor harga tertingginya di posisi US$ 1.900,23 per troy ounce pada Agustus 2011.
Namun, pada 2012, tenaga emas untuk mendaki mulai berkurang dan hanya menorehkan kenaikan sebesar 11%. Adapun harga rata-rata emas sepanjang 2012 ada di rata-rata US$ 1.679 per troy ounce.
Melemahnya harga emas itu terus bergerak turun hingga awal tahun 2013. Pada akhir Januari lalu, harga kontrak emas pengantaran cepat turun sebesar 0,3% menjadi US$ 1.663,85 per troy ounce di Melbourne. Ini merupakan harga termurah sejak 14 Januari 2013.
Sementara di Singapura, kontrak yang sama berada di posisi US$ 1.667,35 per troy ounce. Dengan demikian, sepanjang minggu akhir Januari lalu, harga emas sudah melorot 1% dan merupakan penurunan mingguan terbesar sejak periode yang berakhir 21 Desember 2012.
Awal April, emas dinyatakan memasuki pasar bearish. Saat itu, harga kontrak emas jatuh hingga ke posisi US$ 1.483 per troy ounce. Itu artinya, harga emas anjlok 22% dari rekor tertingginya pada Agustus 2011 lalu.
Catatan saja, emas memasuki pasar bearish karena penurunan harga emas sudah mencapai 20% dari level tertingginya.
Berlanjut ke periode menjelang akhir Juni, gejolak harga emas dunia membuat harga emas batangan ukuran 1 gram PT Aneka Tambang Tbk (Antam) anjlok 1,18% menjadi Rp 502.000 per gram.
Sementara pada saat yang bersamaan, harga emas dunia untuk kontrak pengiriman Agustus 2013 di bursa Commodity Exchange sore hari, emas berada di level terendah sejak 2010, yakni US$ 1.280,9 per troy ounce, atau turun 0,86% ketimbang harga akhir pekan sebelumnya.
Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka berpendapat, tren bearish tersebut dipicu sentimen negatif yang terus berdatangan, seperti isu pengurangan stimulus The Fed, membaiknya kinerja Wall Street, membaiknya data ekonomi serta tingkat pengangguran AS yang membaik serta inflasi yang kian stabil.
Faktor-faktor itulah memberikan insentif bagi investor di AS untuk melepaskan emas dan mengalihkan investasi mereka ke aset yang lebih berisiko. "Sekali lagi, faktor penurunan emas hanya karena sentimen, sisanya hanya pendukung dan pengaruhnya kecil," imbuh Lukman.
Pendapat itu mengacu pada sifat emas yang pada hakikatnya tidak memiliki nilai yang bisa dihitung selayaknya saham. Lukman menggambarkan, jika ada orang punya emas seharga Rp 500. Lalu, ada orang lain yang menawarnya dengan harga Rp 501, maka itulah harganya.
Berbeda dengan saham atau pasar uang yang memiliki perhitungan seperti price earning ratio (PER) atau suku bunga. Namun, saat ini emas menjadi komoditas yang terbilang likuid diperjualbelikan di pasar.
Oleh sebab itu, emas mulai terputus dari segi fundamentalnya, tetapi justru mengarah ke segi teknikal. "Seperti kemarin emas menembus level 1.520. Level itu secara teknikal sudah sangat jelek. Kebetulan sentimen dari The Fed terus berdatangan. Kenaikan yang terjadi sudah cukup lama juga membuat maraknya aksi profit taking. Akibatnya, harga emas semakin dalam dan sentimen negatif semakin berdatangan," jelas Lukman.
Untuk sisa paruh waktu tahun ini, Lukman memproyeksikan harga emas terus berfluktuasi. Secara teknikal, harga emas bisa menembus support di level US$ 1.300 troy ounce, dengan level support di US$ 1.150
Kendati demikian, emas berpotensi terkoreksi ke atas oleh bargain hunting dan profit taking. Ketika harga emas gagal masuk ke level US$ 1.300, maka emas masih terus berada di posisi bearish dan tidak tertutup kemungkinan terkoreksi lebih jauh hingga menyentuh level terendah sebelum krisis 2008.
Untuk short term dalam satu atau dua minggu ke depan, emas masih memiliki kemungkinan menyentuh level support US$ 1.150 dan resistance US$1.270. Harga emas diperkirakan masih melakukan konsolidasi dan mengantisipasi hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) akhir bulan Juli ini.
Tidak menutup kemungkinan jika hasil rapat FOMC cenderung militan alias hawkish akan membenamkan harga emas. Sebaliknya, jika ada sinyal keraguan dari the Fed terkait pembatasan stimulusnya, tidak mustahil harga emas rebound lagi dan mencoba level resistance US$ 1.300 dan menuju level resistance berikutnya di US$ 1.450.
"Oleh karena itu, investor disarankan mengekang keinginan melakukan pembelian gold dan lebih memanfaatkan kesempatan untuk melakukan sell on rally," pungkas Lukman. Ariston
Tjendra, analis Monex Investindo Futures memiliki pandangan senada. Sentimen yang datang dari The Fed mengurangi stimulus dan membaiknya data AS membuat investor mengalihkan perhatiannya dari emas. "Jadi, Indeks naik, tetapi emas semakin terjerembab," imbuhnya.
Ariston menambahkan, tren harga emas semester II juga tidak akan jauh berbeda dengan semester I. Dia memproyeksi, secara teknikal emas bisa mencapai level 1.400. Tetapi, harga emas juga berpotensi menyentuh level support 1.050. "Mungkin kalau ada krisis lagi, maka harga emas bisa naik lagi," pungkas Ariston.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News