kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Ingin masuk ke saham perusahaan start up? Simak kata analis berikut


Kamis, 07 Januari 2021 / 17:03 WIB
Ingin masuk ke saham perusahaan start up? Simak kata analis berikut
ILUSTRASI. Ilustrasi IHSG. REUTERS/Willy Kurniawan


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jenis perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin beragam, termasuk perusahaan rintisan atau start up. Terdapat sejumlah saham emiten start up yang bisa menjadi alternatif bagi investor, mulai dari PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS), PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), dan PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA).

Ada pula PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS), PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH), hingga PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO).

Meski demikian, saham-saham ini merupakan saham lapis bawah, yang pergerakannya kurang likuid dan memiliki kapitalisasi pasar yang kecil. 

Ambil contoh saham KIOS, yang hari ini hanya diperdagangkan sebanyak 6 kali dengan nilai Rp 1,19 juta. Atau, saham YELO yang hanya diperdagangkan 44 kali dengan nilai Rp 12,55 juta hari ini.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai, untuk saham perusahaan rintisan yang sudah listing namun memiliki likuiditas yang kurang, akan mengurangi minat pelaku pasar atau membuat pelaku pasar akan sedikit berhati-hati terhadap saham tersebut. 

Baca Juga: 17 Perusahaan bersiap IPO tahun depan, siapa saja?

“Saham ini lebih ke ritel yang tipenya spekulan, mungkin masih menarik,” terang Sukarno kepada Kontan.co.id, Kamis (7/1).

Dengan kata lain, kata Sukarno, investor yang memiliki orientasi jangka panjang akan lebih memilih saham-saham yang bersifat defensif, misalkan saham consumers good dan telekomunikasi, yang memiliki kinerja dan track record yang lebih jelas.

Hal ini berkaca pada strategi ‘bakar uang’ di dunia startup yang digunakan untuk bersaing dengan pemain lainnya (peers), yang biasanya akan berdampak pada sisi bottomline dan akan berdampak pada kebijakan pembagian dividen.

“Jadi untuk saat ini belum bisa dilihat akan seperti apa kinerjanya nanti,” sambung dia.  

Jika melihat iklim pasar modal dan ekonomi,  kata Sukarno, saat ini merupakan waktu yang cukup tepat bagi perusahaan startup e-commerce untuk melantai. 

Sementara itu, Analis Phillip Sekuritas Indonesia Anugerah Zamzami Nasr menilai, masalah likuid atau tidaknya saham perusahaan rintisan setelah melantai di bursa bisa saja disebabkan oleh faktor reputasi dan juga ukuran dari startup yang bersangkutan.

”Bisa jadi karena reputasi start-up-nya yang kurang terdengar. Atau investor banyak yang tidak familiar dengan bisnis mereka. Mungkin kalau unicorns yang listing bisa lain cerita,” ujar Zamzami kepada Kontan.co.id, Kamis (7/1).

Meskipun kebanyakan start-up memiliki strategi bakar uang untuk bersaing dengan kompetitor, namun jika  perusahaan tersebut mengarah ke profitability yang jelas, maka bisa menumbuhkan kepercayaan investor untuk berinvestasi ke saham tersebut.

Selanjutnya: Mengukur peluang dari saham IPO tahun depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×