kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri ETF terhambat faktor sosialisasi dan likuiditas


Minggu, 04 Februari 2018 / 20:00 WIB
Industri ETF terhambat faktor sosialisasi dan likuiditas
ILUSTRASI. ETF


Reporter: Dimas Andi | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri exchange traded fund (ETF) punya potensi berkembang pada tahun ini. Namun, perkembangan produk tersebut masih terhambat oleh faktor sosialisasi dan likuiditas.

President & CEO Pinnacle Investment, Guntur S. Putra berpendapat, salah satu kendala yang dihadapi oleh industri ETF di Indonesia adalah masih kurangnya sosialisasi kepada investor, padahal permintaan terhadap produk ETF terus meningkat. Proses sosialisasi tergolong sulit, karena pasar ETF baru terbentuk dan jumlah manajer investasi yang memiliki produk tersebut masih sedikit.

Selain itu, meski bersifat relatif, risiko likuiditas masih menghantui investor yang berkecimpung di industri ETF. “Ada beberapa produk yang tingkat likuiditasnya setara pasar, tapi ada produk yang bahkan tidak likuid sama sekali,” ungkapnya.

Direktur Utama Indo Premier Investment Management, Diah Sofianti mengatakan, hambatan likuiditas sering terjadi di pasar sekunder akibat tidak banyaknya aktivitas transaksi ETF yang dilakukan oleh investor. Padahal, harga pembelian produk ETF di pasar sekunder tergolong murah.

Di sisi lain, tingkat likuiditas ETF jauh lebih baik ketika diperdagangkan di pasar primer. Menurut Diah, hal tersebut didukung oleh transparansi yang baik, sehingga investor bisa leluasa melakukan transaksi jual-beli produk ETF.

Wawan Hendrayana, Head of Investment Research Infovesta Utama menyebut, transaksi produk ETF di pasar primer cenderung minim hambatan. Hanya saja, minimum modal investasi untuk membeli ETF di pasar primer tergolong mahal. Sebab, investor setidaknya harus menyisihkan dana sekitar Rp 50 juta untuk membeli 1 basket ETF.

Tingginya nilai modal investasi membuat transaksi jual-beli ETF di pasar primer lebih didominasi investor dari kalangan institusi dibandingkan ritel. “Secara umum, pasar ETF Indonesia memang lebih banyak diisi oleh investor institusi,” katanya.

Wawan pun menilai, sejauh ini hanya investor ritel berpenghasilan tinggi yang relatif lebih berani membeli produk ETF di pasar primer.

Karena minim pembeli di pasar sekunder, investor kerap menemui kesulitan ketika hendak menjual unit produk ETF yang dimilikinya. Sebab, investor institusi yang notabene menjadi pemain utama dalam industri ETF lebih tertarik bertransaksi di pasar primer.

Sebagai informasi, sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2007 silam, sudah ada 15 produk ETF yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×