Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Sejak akhir April 2015, IHSG mulai memperlihatkan gelagat penurunan yang berlanjut sampai saat ini. Sejumlah saham rontok, mulai dari saham-saham blue-chip hingga saham-saham lapis ke dua. Tidak sedikit investor yang tekor akibat kondisi ini.
Termasuk, para investor yang memanfaatkan fasilitas margin. Risiko dari transaksi margin ini adalah ketika harga saham kompak ambruk, maka nilai jaminan berupa saham milik investor akan ikut turun. Pilihannya, menambah nilai jaminan (top up) atau terkena jual paksa atas jaminan tersebut (foced sale).
Hamdi Hassyarbaini, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan, kondisi pasar seperti saat ini rawan terjadi forced sale.
"Pasti ada yang terkena forced sale, tetapi kami tidak punya data mengenai itu," ujarnya belum lama ini.
Agung Kameswara, Direktur PT Reliance Securities Tbk mengaku, beberapa investornya memang ada yang terkena forced sale. "Hampir setiap minggu ada yang forced sale," kata dia.
Namun, menurut dia, investor yang terkena forced sale tersebut adalah investor yang memang sengaja ingin melepas asetnya. Dengan forced sale, maka sang pemodal tidak perlu membayar komisi (fee) jual ke sekuritas tempat ia bertransaksi.
Hal itu tentu merugikan investor. Tetapi, menurut Agung, investor sudah menghitung untung rugi dari aksi itu. "Kami tetap dapat untung dari bunga pinjaman (margin) kan," imbuhnya.
Sekedar informasi, dalam fasilitas margin investor memiliki kesempatan untuk melakukan transaksi dengan nilai yang lebih besar dari dana yang dimiliki. Dalam aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekuritas bisa memberikan pembiayaan sebesar 65% dari nilai jaminan pembiayaan oleh investor. Sedangkan nilai jaminan awal yang harus disetor minimal 50% dari nilai pembelian efek pada saat transaksi.
Jika dalam kurun waktu tertentu, saham-saham yang dibeli nasabah turun, maka perusahaan efek harus meminta nasabah mendepositkan uang tunai atau saham (top up) ke dalam rekening margin. Sehingga nilai jaminan pembiayaan efek tidak lebih dari 65% (margin call).
Jika nasabah tidak melakukan top up, empat hari setelah permintaan itu, maka perusahaan efek wajib menjual jaminan pembiayaan dengan melakukan penawaran jual sehingga nilai pembiayaan tidak melebihi 65%. Jika nilai pembiayaan telah mencapai 80% dari total jaminan, maka sekuritas dengan atau tanpa persetujuan nasabah wajib melakukan jual paksa (forced sale).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News