Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan pasar hari ini (19/8) berada di posisi terendah sepanjang 2008. Indeks terperosok ke level 2.042,50 atau tergilas 2,05% dari penutupan pasar sebelumnya.
Akankah indeks menembus batas psikologisnya di bawah 2.000? Hampir semua analis sepakat mengatakan bahwa itu mungkin saja terjadi. Menurut Muhammad Al Fatih, analis dari BNI Securities, secara teknikal, indeks hari ini memiliki support di level 2.035. "Namun kalau titik support itu tembus, boleh jadi indeks tembus ke 1.980," ujar Al Fatih.
IHSG memang masih terpenjara atas pelemahan harga komoditi. Dengan anjloknya harga komoditi, secara otomatis membuat indeks merah padam akibat besarnya bobot saham emiten di sektor tersebut.
Al Fatih melihat, harga komoditi sudah berada di titik supportnya. Misalnya saja, hal itu bisa tercermin dari harga nikel saat ini yang berada di level US$ 17.000-18.000 per ton dari sebelumnya sebesar US$ 30.000 per ton. Menurutnya, potensi pelemahan tetap ada, tetapi besarnya sudah sangat terbatas.
Investor lebih bersikap hati-hati
Sementara itu, Kepala Riset Trimegah Securities, Arhya Satyagraha menilai, sepanjang pekan ini saja indeks bisa bertahan dikisaran 2.000 hingga 2.115. Namun ia pun tidak membantah, bahwa indeks berpotensi terjungkal lebih dalam di bawah 2.000.
Menurut Arhya, penurunan tersebut juga berimbas pada angka perdagangan yang jumlahnya anjlok menjadi Rp 2,9 triliun dari sebelumnya Rp 4 triliun pada semester pertama tahun 2008. Penurunan tersebut, menurut Arhya, merupakan sikap investor besar dan atau korporat, khususnya asing mengambil posisi wait and see. "Investor asing memiliki risk awareness yang tinggi, sehingga kini agak sungkan untuk berinvestasi pada instrumen dengan risiko tinggi," ujar Arhya.
Kepala Riset Eurocapital Peregrine Securities Poltak Hotradero mengatakan, IHSG memang tidak bisa mencerminkan industri secara fair. "Pada kenyataannya, 62% industri kita bergerak di bidang industri," tegas Poltak. Ia mengatakan tidak bisa memprediksi indeks ke depan secara pasti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News