Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah analis memproyeksikan efek holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor farmasi terhadap emiten farmasi pelat merah tidak akan langsung terasa dalam jangka pendek. Analis menilai, perlu waktu agar sejumlah emiten farmasi pelat merah memperbaiki kinerja fundamental dan sahamnya.
Muhammad Wafi, Analis Bahana Sekuritas lebih memproyeksikan pada kinerja sahamnya. Menurutnya katalis positif bagi emiten farmasi BUMN seperti PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Phapros Tbk (PEHA) baru bisa terasa 1,5 tahun ke depan.
“Kemungkinan di awal 2021 kinerja valuasi saham kedua emiten ini bisa lebih baik,” jelasnya saat ditemui Kontan.co.id di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (19/9).
Kalau melihat valuasi saham INAF dalam sepakan kinerjanya turun 2,50% dan kalau dilihat secara year to date (ytd) sahamnya merosot sampai minus 73%. Kemungkinan valuasi sahamnya turun karena pada semester I-2019 INAF membukukan rugi bersih cukup besar yakni Rp 24,35 miliar.
Baca Juga: Setelah holding farmasi terbentuk, Indofarma (INAF) targetkan bisa cetak laba
Adapun saham KAEF dalam sepekan valuasinya turun 1,34% dan pada tiga bulan kinerjanya merosot 12,46%. Namun kalau melihat secara year to date (ytd) valuasi saham KAEF justru naik 13,46%.
Saham PEHA terlihat dalam tren penurunan. Pada hari ini saja sahamnya turun 3,81% dan secara ytd valuasi sahamnya merosot sampai 50,53%.
Kalau dibandingkan dengan emiten farmasi lainnya seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), saham KAEF, INAF, dan PEHA kurang diminati.
Wafi menjelaskan ada tiga alasan kenapa investor belum banyak yang melirik tiga saham ini.
Pertama, kinerja sahamanya yang kurang bagus dan valuasinya yang mahal. Wafi bilang saat ini harga saham KAEF dan INAF cukup mahal dibandingkan dengan saham PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang secara fundamental serta rencana ekspansinya lebih baik. Pada penutupan perdagangan hari ini harga saham KAEF berada di Rp 1.750 per saham, KAEF Rp 2.950 per saham, dan KLBF berada di Rp 1.680 per saham.
Kedua, kapitalisasi pasarnya jelas beda. Menurut Wafi investor lebih memilih emiten dengan kapitalisasi pasar yang besar. Kapitalisasi pasar KAEF Rp 16,38 triliun, INAF Rp 5,44 triliun, PEHA Rp 1,17 triliun sedangkan KLBF Rp 78,98 triliun.
Terakhir, dari sisi market share KLBF lebih besar dibanding KAEF waluapun KAEF dan INAF bersatu masih belum bisa menandingi market share Kalbe. Adapun KLBF gesit ekspansi organik dibanding dua perusahaan BUMN ini.
Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas menambahkan terbentuknya holding farmasi akan membuat potensi kinerja emiten farmasi BUMN jauh lebih baik.
“Kemungkinan valuasi sahamnya akan membaik inline ketika kinerja jauh lebih baik,” jelasnya.
Untuk valuasi, saat ini dilihat dari Price Earning Ratio (PER) KAEF berada di 47,96 kali lebih besar dibanding PER industri farmasi ada di 21,22 kali. Jadi valuasinya masih mahal. Adapun untuk PER PEHA jauh di bawah rata-rata PER farmasi yakni di 8,8 kali.
Kalau dilihat dari PBV INAF berada di posisi 11,52 kali sedangkan rata-rata PBV farmasi berada di 4,73 kali.
Nah, dengan adanya holding ini bisa memberikan dampak positif ke perusahaan, tapi untuk saat ini Sukarno merekomendasikan investor untuk wait and see karena tren harga masih dalam penurunan. Investor juga mesti memperhatikan fundamental perusahaannya.
Terkait likuiditas, Sukarno menjelaskan jika kinerja suatu saat menunjukkan perbaikan, maka ada potensi likuiditas ikut meningkat.
Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menambahkan melihat dari holding BUMN yang sebelumnya sudah ada seperti holding energi, holding tambang, serta konstruksi melihat dari kinerjanya energi dan tambang belum kelihatan jadi bagus.
“Secara kinerja tidak ada dampak yang signifikan ke emiten dalam waktu dekat,” jelasnya.
Kalau melihat prospek emiten di holding farmasi, kemungkinan ada dampak signifikan di fundamental perusahaan baru akan terlihat dalam spektrum waktu yang panjang yakni 5 tahun-10 tahun lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News