Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
Dengan belum adanya jadwal yang jelas soal keluarnya persetujuan tersebut, keterlambatan ini dinilai akan mengurangi pasokan timah global pada tahun ini. Terlebih lagi, perusahaan privat ini berkontribusi terhadap 67% dari total volume ekspor timah Indonesia pada tahun lalu.
“Alhasil, ini akan membuat ASP menjadi lebih tinggi seiring dengan ketatnya pasokan timah global,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Inav juga meyakini akan ada upside tambahan untuk TINS pada paruh kedua tahun ini seiring dengan TSL Ausmelt Furnace yang segera beroperasi pada kuartal III-2022. Smelter baru ini dinilai memiliki efisiensi biaya produksi yang lebih baik sehingga bisa menjadi katalis positif untuk TINS.
Sedangkan Frankie menilai, TSL Ausmelt Furnace akan ikut turut mendongkrak kinerja TINS sendiri. Dengan nilai investasi mencapai US$ 80 juta, dari smelter ini memiliki kapasitas peleburan sampai 40 ribu ton timah per tahun, dengan proyeksi pendapatan sebesar US$ 126,31 juta.
Pada tahun ini, Inav memproyeksikan TINS bisa membukukan pendapatan sebesar Rp 19,8 triliun dengan laba bersih Rp 1,26 triliun.
Inav pun memberikan rekomendasi beli untuk saham TINS dengan target harga Rp 1.900 per saham. Setali tiga uang, Frankie juga merekomendasikan untuk beli saham TINS dengan target harga Rp 1.800 per saham.
“Jika dilihat dari katalis yang ada, saham TINS masih cukup menarik. Walau memang terjadi koreksi yang kemungkinan besar akibat aksi profit taking semenjak dua hari lalu,” tutup Frankie.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News